Kamis, 24 Januari 2013

Beri Apresiasi pada Istrimu!

Beri Apresiasi pada Istrimu!

 
Ilustrasi
Rabu, 06 Juni 2012

SUATU siang, dalam suasana santai, kami sekeluarga bercengkerama. Suasana yang memang tidak setiap saat bisa kami dapatkan. Siang itu, sulung kami yang baru 4 tahun mencium ibunya. Sebuah ekspresi yang teramat jarang mengingat sulung kami adalah anak laki-laki banyak gerak yang jarang-jarang bersikap sentimentil begitu.
Tiba-tiba…
“Bapak…aku sayang sekali sama Ibu,”
Saya terhenyak. Apalagi ibunya. Tapi sedetik kemudian ada pendar-pendar cahaya di matanya.
“Oya…kenapa memangnya…?”
Aha…saya jadi penasaran. Tumben…jagoan saya bilang sayang-sayang.
“Karena Ibu pekerjaannya banyak…,”
Wow…, sulung saya rupanya pengamat ibunya. Kali ini tentang pekerjaannya.
“Apa saja?” kejar saya. “Satu…,”
“Menjahit…,”
Betul. Itu adalah salah satu usaha istri saya di rumah. Ada konveksi kecil-kecilan yang sedang kami usahakan untuk jadi kuat keberadaanya.
“Dua..?”
“Ngajari mbak-mbak…,” jawabnya lagi mantap.
Nah…ini juga kegiatan istri saya di rumah. Kebetulan kami juga memiliki bimbingan belajar kecil-kecilan melayani masyarakat sekitar. Ada beberapa tentor yang kami rekrut. Tapi istri saya kadang-kadang juga turun tangan meladeni anak-anak.
“Tiga…,” Saya kejar terus sulung saya ini. Saya jadi tambah penasaran, sejauh mana pengamatannya terhadap kami, orang tuanya.
“Pergi…,”
Oooo…ternyata ibunya yang sering keluar rumah untuk kulakan ke pasar lah, atau untuk nemui pelanggan lah, atau untuk urusan apa lah, termasuk kategori pekerjaan bagi dia.
“Empat…,” Saya tidak tahu dia akan menjawab sampai angka berapa. Jelasnya, akan saya kejar terus…
“Mmmm…..,” Dia diam sesaat. “Neteki adik…,”
Wow…itu juga pekerjaan rupanya.
“Lima …,” Ia menggeleng. Habis sudah rupanya. “Kalau Bapak, pekerjaanya apa?” Giliran saya, penasaran terhadap penilaiannya terhadap Bapaknya.
“Bapak pekerjaannya pergi…,”
Ya. Jauh lebih sederhana dibanding pekerjaan ibu yang, menurut pengamatannya, jauh lebih banyak.

***
Pengamatan sulung saya mengenai ibunya, mungkin juga dilakukan oleh anak-anak dalam keluarga manapun. Tersampaikan atau tidak, itu bedanya. Satu hal yang kemudian saya fahami, bahwa rupanya anak-anak teramat jeli mengamati kegiatan ibunya, dan efeknya luar biasa. Anak-anak, terutama sulung saya yang baru 4 tahun itu, begitu respect dengan ibunya. Bagi saya, hal ini luar biasa, karena bagaimanapun, saya ikut bertanggung jawab apakah anak-anak saya mampu menghormati orang tuanya, terutama ibunya. Lantas bagaimana dengan para ibu yang (maaf) sering terucap banyak keluh, sehingga hilang kemuliaannya di hadapan anak-anaknya? ??
Pentingnya Apresiasi Terhadap Ibu
Bermula dari celotehan anak, maka ijinkanlah saya berbincang sejenak sebagai seorang laki-laki (suami/bapak) . Banyak dari kita, kaum suami/ bapak, luput memperhatikan bagaimana para istri, ibu dari anak-anak kita berjibaku dengan seabrek kegiatan rumah.
Kita tidak pernah tahu, sesungguhnya bukan hal yang mudah bagi seorang ibu untuk mengurus anak-anak, kemudian mempersiapkan hidangan sedemikian rupa karena ingat kita, suaminya, segera pulang kerja. Plus kemudian harus segera merapikan rumah setelah beradu kesabaran dengan anak-anak yang terkadang, hampir-hampir, tidak bisa diajak bekerja sama untuk menjaga kerapihan rumah.
Saya, mungkin juga Anda, luput memperhatikan itu semua.
Bagi kita, pulang ke rumah bagaikan memasuki zona kenyamanan, dimana istri menyambut dengan senyum. Tersedia teh manis yang membuat urat-urat kelelahan mengendur, plus rumah yang rapi, yang membuat kita ekstra bebas menyelonjorkan badan. Tidak terpikirkan oleh kita bahwa untuk menciptakan itu semua, butuh kerja keras yang teramat luar biasa, bahkan bisa saja melebihi pekerjaan kita.
Karena tidak pernah memperhatikan itu semua, plus para istri tidak pernah mengeluhkan pekerjaannya, maka kita seringkali menganggap hal itu biasa saja. Dan karena menganggap hal itu biasa saja, maka luput bagi kita memberikan apresiasi terhadap para istri.
Apresiasi yang diberikan pada sulung saya siang itu, membukakan kesadaran saya.
Ibunya, dengan ekspresinya yang sederhana namun tampak bahagia. Keberadaannya di rumah, betul-betul bisa melihat bagaimana ibunya berjibaku dengan pekerjaannya sendiri, juga pekerjaan-pekerjaan lain, plus merawat adik kecilnya. Pastilah bukan pekerjaan yang mudah menurut dia. Berawal dari situlah, maka saya bertanya, apresiasi apa yang telah saya berikan padanya?
Kita yakin, bahwa istri-istri kita bukanlah perempuan yang gila pujian. Bukan pula perempuan yang gila penghargaan atas semua pengabdiannya. Tentu tidak. Tapi apresiasi, dalam bentuk apapun, pastilah akan membuat sedikit penatnya berkurang, dan garis-garis kelelahannya berganti senyum.
Terakhir, tidak berlebihan kiranya jika kita mulai memberikan sedikit (ya, karena kalau sering-sering bisa jadi hilang rasa istimewanya) apresiasi kepada para istri kita, ibu anak-anak kita. Tidak perlu berlebihan. Namun jika disampaikan pada saat yang tepat, apresiasi berupa pujian atau penghargaan dalam bentuk apapun, akan membuat perasaan pasangan kita lebih dihargai, dicintai, dan dipercaya. Lebih jauh lagi, hal ini akan meningkatkan keharmonisan rumah tangga.
Jadi, jangan ragu memuji atau mengucapkan terima kasih pada istri Anda. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam (SAW), manusia teladan itu telah mencontohkan perilaku-perilaku terbaiknya kepada istri-istri beliau, yang kesemuanya, patut kita contoh.
Bukankah sebuah hadits mengatakan, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya,” (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi).*/Amin Suwarto

Agar Istri dan Anak Kita Jadi Qurrata A’yun

Agar Istri dan Anak Kita Jadi Qurrata A’yun

 
qurrata 'ayun harus dikawal doa dan pendidikan islami dan berada dalam petunjuk Allah Ta’ala/flickr
Kamis, 07 Juni 2012

Oleh: Abu Hudzaifah, Lc
“Dan orang orang yang berkata, "Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai qurrata a’yun (penyenang hati kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan : 74)
SETIAP keluarga Muslim senantiasa mengharapkan anggota keluarganya, khususnya istri dan anak-anaknya, menjadi qurrata a’yun. Sebab, anggota keluarga yang memiliki sifat qurrata a’yun akan mampu memberikan warna dan rasa tersendiri bagi anggota keluarga yang lain. Keberadaan anggota yang menjadi qurrata a’yun akan membuahkan ketentraman bagi keluarga yang lain.
Yang menjadi pertanyaan sekarang; apa yang dimaksud dengan istilah qurrata a’yun tersebut? Apa dan bagaimana karakter istri dan anak yang memiliki sifat qurrata a’yun yang menjadi idam-idaman setiap keluarga Muslim?
Secara mendasar, istilah Qurrata a’yun memiliki dua makna; Pertama, kata qurra bermakna tsabat, ketenangan dan keteguhan. Artinya, istri dan anak yang memiliki sifat qurrata a’yun adalah meraka yang memberikan ketenangan dan keteguhan. Jadi, harapan orang, mereka kelak mereka menjadi wasilah untuk meraih ketenangan jiwa.
Kedua, kata qurra memiliki makna yang kedua adalah dingin dan sejuk. Sehingga, makna qurrata a’yun adalah air mata yang menyejukkan dan sebagai pendingin pandangan mata/hati. Ia memiliki makna air mata kesejukan. Sebab, air mata yang dingin dan sejuk yang mengalir dari mata seseorang menunjukkan kesenangan dan kegembiraan. Berbada halnya bila air mata yang mengalir terasa hangat atau panas, maka air mata itu menunjukkan kegelisahan dan kekhawatiran. Harapan seorang ayah, anak dan istrinya menjadi sarana kebahagiaannya yang mampu mengalirkan air mata yang sejuk yang menunjukkan kebahagiaan dan kesenangan.
Berkaitan dengan karakter qurrata a’yun yang diidam-idamkan setiap Muslim, sebagian ulama berpendapat, bahwa mereka adalah anggota keluarga yang kita lihat taat dan beribadah hanya kepada Allah Ta’ala. Artinya, anggota keluarga seperti itulah yang mampu menyejukkan dan memberikan ketenangan dalam jiwa kita.
Boleh jadi air mata kita akan menetes bahagia saat menyaksikan mereka sebagai orang-orang yang taat dan senantiasa beribadah kepada Allah. Luar bisa, kabahagiaan yang akan menyapa seseorang menyaksikan anak dan istrinya rajin shalat, membaca Al-Quran, bersedekah, dan rutin melaksanakan ibadah dan ketaatan yang lainnya.
Ada yang berpendapat, karakter anggota keluarga yang menjadi qurrata a’yun adalah mereka yang mampu mencegah kita agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan dan dosa. Artinya, keberadaan anak dan istri yang mampu memberikan motivasi kepada kita untuk lebih taat beribadah kepada Allah Ta’ala. Sehingga, pandangan mata kita akan menjadi gembira dan senang saat memandang mereka. Subhanallah.
Ada yang berpendapat, yang dimaksud dengan anak istri yang menjadi qurrata a’yun bagi kita manaka kala mereka mendapatkan hidayah sehingga memeluk agama Islam. Betapa bahagianya seorang ayah Muslim manakala menyaksikan anggota keluarganya memeluk Islam yang merupakan satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah. Dengan harapan mereka kelak dikumpulkan oleh Allah dalam naungan Islam saat di dunia ini, dan di surga saat memasuki alam akhirat. Allahummastajib.
Ada yang berpendapat, anak dan istri yang menjadi qurrata a’yun adalah anak shalih dan istri yang shalihah. Artinya, anak shalih yang mampu memberikan manfaat bagi orang tuanya, baik saat di dunia ini maupun kelak ketika di alam akhirat. Juga, istri yang shalihah adalah penyejuk pandangan bagi suaminya. Karena, istri shalihah akan mampu memberikan ketenangan dan kebahagiaan saat bersama di rumah maupun saat ditinggal dirumah untuk suatu keperluan.
Selain dengan memanjatkan doa di atas, untuk meraih dan menjadikan anak istri kita sebagai qurrata a’yun, langkah yang harus kita tempuh adalah mendidik mereka dengan pendidikan islami, memenuhi hak-hak mereka, serta senantiasa mengarahkan mereka agar tetap berada dalam petunjuk Allah Ta’ala.
Semoga Allah memudahkan langkah-langkah kita dalam mewujudkan anggota keluarga yang mampu menjadi penentram hati sekaligus penyejuk pandangan mata. Wallahu a’lam bish shawab.*
Abu Hudzaifah, Lc adalah penulis buku “30 Inspirasi Keluarga Harmonis”

Lima Hal Perlu Diwaspadai Para Istri “Pejuang”

Lima Hal Perlu Diwaspadai Para Istri “Pejuang”

 
di belakang pria kuat, selalu ada wanita hebat
Kamis, 27 September 2012

SUNGGUH tidak mudah menjadi pejuang, apapun ideologi yang diperjuangkan. Lebih tidak mudah lagi  menjadi isteri kepada seorang pejuang. Hidupnya selalu diselimuti ketidakpastian.  Mayoritas isteri pejuang sadar dan tahu bahwa hidupnya akan serba kekurangan secara hakiki mahupun maknawi. Tidak jarang, wujud di kalangan mereka yang tidak menyedari bahwa suaminya adalah pejuang. Pejuang apa saja, khususnya pejuang agama; para mujahidin, ulama, dai dan para pembela agama Allah lain.
Namun merekalah makhluk paling setia, paling dipercaya, paling dapat diharap dan paling segalanya di dunia. Mereka taman mekar tempat para suami mendapatkan ketenangan, tiang teguh tempat para suami bersandar  di kala lelah menyapa jiwa, tali pegangan kukuh waktu badai melanda dan seringkali pembela terhandal yang dapat diandalkan saat seluruh dunia menyalahkan, mengecam dan memalukannya.

Merekalah antara pendorong utama yang membuat para suami berani melangkah, meningkatkan kualitas diri dari aspek ukhrawi dan duniawi. Di waktu yang sama, bila peran isteri tidak dimainkan dengan panduan iman dan taqwa, maka mereka dapat berubah menjadi pemusnah hebat.
Justru, jika para istri  ingin bergelar 'syarikatul hayat' (pasangan kehidupan) bagi suami di dalam bersama-sama  menggapai ridha Allah dan jannah-Nya, beberapa sifat dan kebiasaan buruk wajib kita dihindari atau setidaknya diusahakan agar tidak melampaui batas.

Cinta Dunia   
Fitrah perempuan sukakan keindahan dan kesempurnaan. Adalah merupakan impian dan idaman setiap isteri akan segala sesuatu yang indah dan menyenangkan; wajah dan pakaian yang cantik, rumah dan kendaraan yang bagus, peralatan rumahtangga yang lengkap dan terbaru, gadget tercanggih, pendidikan dan sekolah anak-anak yang terbaik dan mahal dan tentunya atau uang yang tiada susutnya.

Kesalatan mengatur dan mengatur rasa senang pada segala bentuk kemewahan ini akan membuahkan kecintaan dan keterikatan pada hal-hal berbentuk material, yang andai dibiarkan berlarutan tanpa kendali iman, dapat mengakibatkan munculnya sifat bakhil dan mementingkan diri sendiri.

Dalam hal ini, hanya zuhud dan qana'ah yang mampu menjadi tali kekangnya. Menurut Imam  Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, zuhud bermakna mengosongkan hati dari kesibukan diri dengan dunia, sehingga orang tersebut dapat berkonsentrasi untuk mencari ridha Allah, mengenal-Nya, dekat kepada-Nya, merasa tenang dengan-Nya dan rindu menghadap-Nya. 

Profesor Dr. HAMKA rahimahullah mengatakan qanaah terdiri atas 5 hal; menerima dengan rela akan apa yang ada, memohon kepada Rabb akan tambahan yang pantas dan berusaha, menerima dengan sabar akan ketentuan-Nya, bertawakkal kepada-Nya dan tidak tertarik dengan tipu daya dunia.
Jadi, salahkah memiliki kemewahan jika memang ditakdirkan memilki kemewahan? Jawapannya, tidak salah. Sama sekali tidak salah, selama ia tidak dijadikan tambatan hati dan selama ia tidak mendorong para suami melakukan korupsi demi memenuhi keinginan isteri, termasuk korupsi harta maupun korupsi jiwa. Dalam arti kata lain, tidak salah memiliki segalanya selama ia dimanfaatkan dalam usaha meninggikan kalimat Allah di muka bumi.

Cemburu Buta
Cemburu tanda cinta, kata sebagia orang. Namun sengaja diletakkan kalimat 'buta' di sini yang menunjukkan hanya aksi dan reaksi cemburu saja yang dibenarkan. Sudah seharusnya seorang isteri memiliki perasaan cemburu terhadap suaminya.
Perasaan cemburu yang positif akan memacu dirinya untuk giat menyaingi langkah suami dalam beramal, menjadi motivasi kuat untuk dia belajar dan bekerja lebih gigih dalam membantu usaha dakwah suami dan mendorongnya untuk lebih kreatif dalam memastikan gerak suami selalu berada di dalam koridor syar'i.
Apa yang tidak harus terjadi ialah, membabi-buta mencemburui suami sehingga rasa cinta yang ada sedikit demi sedikit berubah menjadi obsesi yang disertai sikap posesif dan diiringi prasangka buruk tanpa penghujung.
Di dalam banyak situasi, bukan cemburu yang menghambat langkah suami, atau lebih dahsyat, mematikan rasa kasihnya, sebaliknya adalah kebutaan yang mengiringi rasa cemburu tersebut. Buta di sini bermaksud, tidak lagi dapat memisahkan antara cinta kerana Allah dan rasa memiliki, antara keinginan diri dan keperluan syar'ie dan antara realiti dan fantasi.

Mudah Kecil Hati
Gunjingan orang, tatapan yang tidak bersahabat, ketidakcukupan nafkah dan kekurangan harta benda, tidaklah layak menjadikan hati insan beriman (istri para pejuang) berkecil hati terus menerus, sehingga mengakibatkan rasa rendah diri, tersinggung dan tidak mustahil, pada suatu hari menimbulkan benci.
Orang-orang dengan hati yang mudah menciut ini biasanya adalah orang-orang yang selalu membesar-besarkan hal yang kecil. Dan hatinya yang kecil itu akan terlihat dari raut wajah dan sikap yang ditunjukkannya, baik itu disengaja ataupun tidak. Sesama saudara dan sahabat saja ia memberi kesan, apalagi suami isteri.
Tanpa disadari, keceriaan dan mood isteri banyak mempengaruhi  sikap dan mood suami. Selemah manapun seorang suami, bila didukung oleh sikap dan semangat isteri yang kuat, pastilah akan kuat juga, insyaAllah. Demikian pula sebaliknya.

Suka Bercerita

Sebenarnya para suami sangat suka apabila isterinya bercerita. Justru dari cerita-cerita isterilah, dia memaklumi banyak hal yang tidak dapat dia ikuti dengan saksama disebabkan kesibukannya.
Namun, sikap suka bercerita dengan pengertian bercerita tanpa koma, tanpa mengenal waktu dan tempat, hanya akan membuat suami merana dan tidak betah di rumah, terutama jika cerita-cerita yang dibawa lebih menjurus kepada ghibah (gunjingan) dan fitnah. Perkelahian mungkin meletus dan lebih buruk akibatnya apabila cerita di dalam rumah pun ikut menjadi bahan cerita ke mana-mana.
Khususnya di dalam keluarga dengan fikrah perjuangan, tabiat suka bercerita yang tidak terkawal, pada suatu saat dapat mengundang musibah. Bagaimana tidak, jika semua aktivitas suami 'dilaporkan' kepada semua orang; hal-hal penting, kepergiannya,  dengan siapa saja suaminya berteman dan banyak hal lain yang seolah-olah disangkanya sebagai hal remeh?
Fenomena akhir zaman, dunia tanpa batas telah memburukkan lagi sikap ini dan membuat keadaan jauh lebih gawat karena jumlah yang mendengar (membaca) ceritanya mungkin jauh di atas ribuan orang. Cerita yang bagi dirinya adalah cerita biasa, besar kemungkinan adalah cerita luar biasa buat orang lain. Apalagi jika hal itu disahre jejaring sosial tanpa batas.

Cepat Merajuk, Sukar Dibujuk
Kata orang, merajuk pada yang sayang. Kalau tidak kepada suami, kepada siapakah lagi seorang isteri merajuk? Rajuk memang sinonim dengan perempuan. Dan ada bermacam gaya rajuk. Selama ia tidak keluar dari landasan syar'i, maka rajuknya adalah sah.
Masalah timbul apabila rajuknya sukar dibujuk, sehingga menghalangi keharmonian hubungan suami isteri, menimbulkan kekeliruan dan ketakutan pada jiwa anak-anak dan menjatuhkan air muka dan wibawa suami.
Tidak seyogyanya seorang isteri merajuk berpanjangan, apalagi tanpa alasan dan sebab.  Seorang suami juga adalah seorang manusia yang kadang disebabkan kelemahannya, pada suatu ketika dapat mematiksan rasa putus asa dan amarah mengalmi kesesakan fikiran dan ketidakstabilan emosi. Rajuk yang aslinya merupakan hasil dari kemanjaan, kini justru menjadi berubah seolah bara dalam sekam, perlahan-lahan membakar jiwa. Tak jarang, rajuk berpanjangan membuat seseorang lupa kenapa dia merajuk pada awalnya?

Akhirnya, rumahtangga yang dibina dengan tujuan memperolehi sakinah dan merangkul mawaddah wa rahmah, gagal menjadi tempat suami melabuhkan semua rasa.
Tonggak utama Kemenangan Umat
Masih banyak sikap negatif yang lain, namun dapat dikatakan bahwa sikap-sikap yang lain hanya timbul apabila 5 sikap ini merajalela tanpa kendalian sempurna. Dengan maraknya kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan Muslimin akhir-akhir ini, sikap -sikap seperti ini sama sekali tidak membantu perjuangan suami.

Kejayaan ummat yang bermula dengan sebuah ikatan rumahtangga sangat tergantung pada kerjasama 2 tonggak utama; yakni pasangan suami isteri. 
Jatuh bangun seorang suami, teguh dan kentalnya dia mengharungi onak dan duri, kukuh dan sabarnya menghadapi pasang surut kehidupan, harus diakui sangat dipengaruhi oleh jiwa, sikap dan semangat isterinya yang ada di rumah. Fakta menunjukkan, di belakang pria kuat, selalu ada wanita hebat. Justru, di situlah letak makna se-iya-sekata, sehati-sejiwa' dalam mengukuhkan perjuangan.Wallahu a'lam.*/23 September 2012

Paridah Abbas, penulis seorang ibu rumah tangga dan guru

Didik Mereka Jadi Pemberani!

Didik Mereka Jadi Pemberani!

 
Kita perlu mendidik mereka dengan komitmen terhadap agama dan perjuangan/Foto: 123rf.com
Senin, 15 Oktober 2012

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
HARI ini, kita menanti lahirnya para pemberani. Tak keluh lidahnya bicara kebenaran. Tak kuyuh langkahnya melihat kesulitan yang menghadang. Mereka menjadi pemberani bukan karena kuat berkelahi. Tetapi anak-anak itu tumbuh menjadi sosok pemberani karena himmahnya (hasrat terbesarnya) akhirat, pegangannya syari’at dan aqidahnya kuat melekat dalam diri. Mereka berani bukan karena dirinya kuat, tetapi karena adanya kendali kuat atas syahwatnya terhadap dunia. Mereka menjadi pemberani karena dirinya ditempa untuk tidak terbiasa dengan tana’um (bernikmat-nikmat).

Tetapi bagaimana mungkin mereka akan mampu menjauh dari tana’um jika mereka tak mampu mentasharrufkan harta dengan benar? Bagaimana mungkin kita dapat mendidik generasi yang tak sibuk berbangga dengan dunia jika mereka tidak dilatih menahan diri?

Hari ini, kita menunggu munculnya generasi yang kepala mereka tegak tatkala berhadapan dengan manusia. Kita menunggu lahirnya generasi yang tak merasa rendah karena berjumpa dengan manusia yang bernampilan wah. Mereka tak menyibukkan diri memuji manusia berdasarkan benda-benda yang dipunyai. Mereka tidak memuliakan, tidak pula merendahkan manusia lainnya karena rupawan tidaknya wajah. Tetapi mereka menilai manusia karena sikap, perjuangan, akhlak dan kesungguhannya berbenah.

Seseorang dapat memiliki keberanian karena merasa dirinya kuat. Keberanian juga dapat tumbuh karena keinginan untuk menjadi sosok yang membanggakan di hadapan manusia lainnya. Tetapi keberanian semacam ini, selain tak bernilai di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, juga mudah runtuh manakala mereka dihadapkan pada kesulitan serta tiadanya kenikmatan hidup. Sebagaimana manusia dapat bersemangat melakukan perang karena mengharapkan gemerlapnya dunia, sedangkan kematian dianggap sebagai akhir perjalanan. Tak ada kehidupan sesudahnya. Orang-orang semacam ini dapat menjadi pemberani. Tetapi keberanian mereka akan mudah surut jika dihadapkan pada kesengsaraan. Sangat berbeda dengan keberanian pada mujahid yang justru melihat akhirat sebagai kehidupan terbaik, sementara kematian merupakan gerbang yang membentangkan jalan untuk mencapai kenikmatan tertinggi di sisi Allah.

Banyak hal yang memerlukan keberanian agar dapat menjalankan agama dengan sempurna. Ada keberanian menghadapi ancaman, ada keberanian menghadapi kesulitan yang mungkin menghadang, dan ada pula keberanian yang terkait kesiapan untuk berpayah-payah demi meraih kemuliaan di sisi-Nya. Keberanian menghadapi kesulitan yang mungkin terjadi adakalanya terkait apa yang akan segera dilakukannya, semisal membawakan acara di hadapan banyak orang, dan ini merupakan kesulitan yang ringan. Adapula keberanian menghadapi kesulitan yang mungkin terjadi terkait dengan hal-hal jauh di masa akan datang, dan ini memerlukan keyakinan tentang dekatnya pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.

Adapun keberanian untuk berpayah-payah demi meraih kemuliaan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla memerlukan kemampuan menahan diri. Tidak akan mampu seseorang menempuh jalan sulit semata karena ingin meraih ridha Allah Ta’ala kecuali jika ia memiliki harga diri (‘izzah) yang kuat sebagai seorang muslim. Dan tidak akan tumbuh ‘izzah yang kokoh kecuali ada penjagaan diri (‘iffah) yang kuat. Dan ini memerlukan latihan panjang.

Tatkala anak dibesarkan di rumah, anak-anak memperoleh penguatan dari orangtua, saudara dan anggota keluarga lainnya. Tetapi ketika anak tumbuh di sekolah berasrama, maka harus ada kebijakan pendidikan yang sengaja mengawal anak-anak agar belajar mengendalikan diri dan menjauhi tana’um. Sekolah dapat membatasi jumlah uang saku anak setiap harinya, tetapi pembatasan saja tidak cukup. Harus ada pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyyah) dari pengasuh asrama dan pendidik di sekolah. Harus pula ditumbuhkan suasana penghormatan terhadap sikap terpuji, kegigihan berusaha, integritas, semangat membantu orang lain, kesabaran dan keimanan. Tanpa itu semua, keberanian yang sesungguhnya serta kendali diri hanya menjadi pengetahuan yang dengan lancar dapat dituangkan penjelasannya saat ujian, tetapi amat jauh dari penghayatan.

Mari kita ingat sejenak nasehat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Abu ‘Awanah, Al-Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnul Ja’d, “Jauhilah orang kalian hanyut dalam kemewahan dan senang berhias dengan mode orang asing, bersikaplah dewasa dan berpakaianlah secara sederhana (tidak mewah).”

Berpakaian sederhana merupakan hal yang biasa jika anak hidup di lingkungan yang membiasakan mereka seperti itu. Kebiasaan ini sangat bermanfaat untuk menjaga orientasi belajar anak sehingga dapat menghadapkan dirinya secara lebih serius dalam menuntut ilmu. Tetapi jika kebiasaan ini hanya berhenti sebatas pembiasaan melalui pengendalian lingkungan (asrama), maka ia akan mudah memudar begitu anak berpindah ke lingkungan lain. Bahkan tak sekedar memudar, ia justru dapat berbalik total dari sederhana menjadi gemar bermewa-mewah. Maka, pembiasaan itu harus didahului dan sekaligus disertai penanaman nilai yang tak putus-putus sehingga anak melakukannya dengan perasaan positif. Anak melakukannya, menghayatinya dan menjadi bagian dari keyakinannya.

Sebaliknya, sangat berat bagi anak untuk hidup sederhana jika teman-teman di sekelilingnya, baik di sekolah maupun asrama hidup dalam suasana memuliakan penampilan, kemewahan dan kepemilikan. Hidup sederhana berarti menjadi orang asing di tengah-tengah sekumpulan orang yang sangat berbeda. Ini merupakan tantangan yang sangat berat, lebih-lebih jika anak sendiri belum memiliki keinginan untuk menyederhanakan makan dan pakaian. Padahal umumnya anak usia remaja memang belum memiliki keinginan untuk sederhana dalam makan dan pakaian. Jika suasana yang tumbuh di sekolah dan asrama adalah semangat menutup aurat, maka ringan bagi anak untuk mengenakan pakaian apa pun yang dapat menutup aurat secara sempurna. Tapi jika suasana yang tumbuh adalah penampilan, sangat mungkin terjadi anak merasa malu jika tidak menggunakan jilbab merek tertentu.

Mari kita renungkan sejenak atsar dari Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Saya lebih senang melihat pembaca Al-Qur’an itu berpakaian putih.”

Nah.

Jika anak tidak tersibukkan hatinya dari berbangga-bangga terhadap pakaian dan penampilan, maka akan lebih mudah bagi mereka memenuhi hatinya dengan hasrat terhadap ‘ilmu dan akhirat. Lebih ringan langkahnya untuk menghadap hati kepada ilmu. Bukan sekedar berkonsentrasi memusatkan perhatian anak saat belajar.

Tentu saja, mereka harus tetap menjaga muru’ah (kehormatan) sehingga tidak merendahkan martabat mereka maupun kehormatan agama ini. Dan panduan untuk menjaga muru’ah itu adalah agama ini. Sedangkan guru dan pengasuh asrama merupakan penjaganya. Merekalah yang bertugas menegakkan nilai, termasuk penghormatan terhadap nilai-nilai tersebut.

Kelak, jika sekiranya Allah Ta’ala mudahkan rezeki mereka dan melimpahi mereka dengan perbendaharaan dunia, semoga akan ringan hati mereka untuk menolong agama ini dengan harta dan jiwa mereka. Adapun jika mereka mengambil kenikmatan dunia dari harta yang telah Allah Ta’ala berikan kepada mereka, baik berupa makanan, pakaian, kendaraan atau pun selain itu yang halal dan thayib, maka yang demikian ini semoga senantiasa tak bergeser dari kebaikan.

Allah Ta’ala berfirman:

    وابتغ فيما آتاك الله الدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد في الأرض إن الله لا يحب المفسدين

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash, 28: 77).

Kendali Diri Bekal Berani
'Alaa kulli haal, sederhana dalam berpakaian hanyalah sebagian dari apa yang dapat kita lakukan untuk mendidik anak agar mampu menjauhkan diri dari tana’um. Awalnya melatih dan mendidik mereka untuk mampu membelanjakan harta secara bertanggung-jawab sesuai tuntunan syari’at. Bersamaan dengan itu anak belajar mengendalikan diri. Bukan menuruti keinginan. Sungguh, cukuplah orangtua dianggap menyengsarakan anak apabila mereka membiasakan anak hidup mudah.

Ini merupakan bagian dari adab sebagai murid yang perlu ditumbuhkan dan ditegakkan. Semoga tegaknya adab dapat membentuk kemampuan mengendalikan diri dari menuruti segala keinginan, meskipun Allah Ta’ala kuasakan kemampuan untuk memenuhinya. Semoga bagusnya kendali diri dapat menjadi salah satu bekal berharga untuk mendidik mereka menjadi pemberani.

Selanjutnya, kita perlu mendidik mereka dengan komitmen terhadap agama serta keinginan untuk memperjuangkannya. Begitu.*

Mohammad Fauzil Adhim adalah penulis kolom Parenting Majalah Hidayatullah. Berbagai tulisan lain dapat dibaca di majalah Hidayatullah. @kupinang.  Ini tulisan ketujuh dari serial tulisan tentang ta'dib yang secara berkala dimuat di majalah Hidayatullah

Rabu, 23 Januari 2013

Ajari Mereka Belanjakan Harta

Ajari Mereka Belanjakan Harta

 
Kita mendidik mereka bukan untuk melihat hasilnya hari ini
Selasa, 09 Oktober 2012

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

KITALAH
yang bertanggung-jawab mengantarkan anak-anak agar kelak menjadi manusia yang benar-benar mampu menunaikan taklif (bebanan syari’at). Salah satu perkara yang harus kita persiapkan pada diri mereka adalah kemampuan membelanjakan harta (tasharruf) secara bertanggung-jawab. Tidak terjatuh pada tabdzir, tidak pula tergelincir kepada sikap ketat berlebihan. Sesungguhnya, salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap mukallaf adalah membelanjakan harta sesuai peruntukannya. Dan ini semua memerlukan perangkat ilmu syari’at dan pembekalan berupa penempaan diri oleh orangtua dan guru.

Kemampuan mengendalikan diri, menumbuhkan himmah (passion, hasrat besar) kepada akhirat dan bukannya pada dunia, serta keterampilan mengatur keuangan secara bertanggung-jawab merupakan sebagian tugas penting pendidik untuk mewujudkannya pada diri murid. Anak-anak harus mengilmui tentang perkara ini. Tetapi sekedar mendapatkan pengetahuan secara teratur, runtut dan lengkap tentang hal ini tidak menjadikan mereka mampu mengamalkannya. Harus ada pendampingan sebagai bentuk latihan dan pengawasan. Para pendidik melatih mereka bukan hanya dengan membatasi jumlah uang yang boleh mereka bawa dan miliki. Lebih dari itu, juga melatih anak agar memiliki cara pandang yang sesuai dengan tuntunan Allah Ta’ala dan rasul-Nya.

Membatasi jumlah uang yang boleh mereka miliki memang bermanfaat untuk melatih mereka menahan diri dari hal-hal yang menggiurkan. Ini merupakan bekal penting agar anak mampu menunda keinginan. Tetapi tanpa menata hasrat mereka terhadap dunia, tanpa membangun orientasi hidup yang baik, pembatasan jumlah uang hanyalah semacam karantina yang sewaktu-waktu dilepas akan membuat mereka seperti singa lapar bertemu makanan.

Sungguh, kita mendidik mereka bukan untuk melihat hasilnya hari ini. Kita mendidik mereka untuk menyiapkan mereka menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Kita tempa anak-anak agar orientasi akhirat tumbuh dengan kuat di dada mereka.

Mari kita ingat sejenak sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَ هَمُّهُ الآخِرَةَ؛ جَمَعَ اللهُ شَمْلَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ الدُّنْيَا؛ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَعْيَتَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا كُتِبَ لَهُ

“Barangsiapa yang himmah (passion, hasrat kuat)nya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan menceraiberaikan urusan dunianya, dan menjadikan kefakiran di antara kedua pelupuk matanya, dan dunia tidak akan menghampirinya kecuali sebesar apa yang telah ditakdirkan baginya.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, Al-Baihaqi, Ibn Hibban, Ad-Damiri; shahih).

Pertanyaannya, kampung akhiratkah yang menjadi impian anak-anak kita di sekolah Islam? Ataukah kita lalai menumbuhkan kecintaan kepada akhirat karena hanya sibuk mengejar prestasi? Padahal, andaikata anak-anak itu kuat keyakinannya kepada Allah Ta’ala dan memiliki penjagaan diri serta pengendalian diri yang baik, maka mereka akan bersungguh-sungguh terhadap hal-hal yang bermanfaat baginya.

Jadi, ada tiga hal penting yang mempengaruhi kemampuan anak mentasharrufkan harta sesuai tuntunan, yakni ‘ilmu, keterampilan yang didapatkan dari latihan, serta adanya orientasi yang benar terhadap harta. Selain melatih mereka untuk menahan diri –di banyak sekolah berasrama menerapkan pembatasan kepemilikan uang per hari atau per pekan—penting juga untuk sering-sering mengajak mereka berdialog sehingga mereka mampu merasakan dan menghayati prioritas belanja. Pendamping asrama perlu meluangkan waktu untuk mengajak anak berbicara tentang barang-barang atau makanan yang mereka beli. Dengan demikian, mereka bukan hanya memiliki ilmu tentang bagaimana mentasharrufkan harta dengan benar, melainkan juga memiliki pengalaman menakar nilai penting apa yang telah mereka belanjakan dan yang akan mereka belanjakan. Dialog ini bermanfaat untuk menjadikan mereka berpikir dan merasakan apa yang mereka pikirkan.

Ilmu tentang hak dan kewajiban terhadap harta akan menjadikan mereka mengerti. Tetapi sikap yang baik dan kepekaan dalam menggunakan harta secara tepat hanya akan tumbuh melalui latihan, pendampingan dan pengalaman. Sebagaimana kemampuan memimpin dan menyelesaikan masalah. Kita dapat membaca teorinya melalui berbagai buku. Tetapi untuk menghasilkan kepekaan dan kecakapan memimpin maupun menyelesaikan masalah, perlu pengalaman dan benturan-benturan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada berbagai kemudahan, kecuali jika kita tidak bersabar menghadapi, tidak pula mengilmui.

Jika anak tidak disibukkan oleh urusan konsumtif, maka hatinya akan lebih tenang dalam belajar. Jika anak tidak sibuk bersaing penampilan maupun benda yang ia miliki di hadapan teman-temannya, maka perhatiannya terhadap ilmu akan tercurah lebih besar. Orientasi studi akan terjaga dan mereka tidak banyak menghabis-habiskan waktu, tenaga dan uang untuk hal yang tidak penting.

Kita perlu bimbing anak-anak agar memiliki konsumerisme (kemampuan membelanjakan harta menurut pertimbangan yang sehat dan tepat). Bukan konsumtivisme, yakni kecenderungan untuk menuruti apa saja yang menjadi keinginannya.

Terkait tanggung-jawab terhadap harta, para pendidik harus secara berkesinambungan mengingatkan, mengajarkan dan mengajak murid untuk menghayati sabda Nabi saw tentang empat perkara yang kelak akan ditanyakan di Yaumil-Qiyamah. Rasulullah saw. bersabda:

لا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ حَتّى يُسْأَلُ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَ عَنْ عِلْمِهِ فِيْمَا فَعَلَ وَ عَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَ فِيْمَا أَنْفَقَهُ وَ عَنْ جِسْمِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ

”Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba (menuju batas shiratal mustaqim) sehingga ia ditanya tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan, hartanya darimana ia peroleh dan kemana ia habiskan, dan badannya untuk apa ia gunakan.” (HR. Tirmidzi dan Ad-Darimi).

Khusus terkait dengan pembicaraan kita tentang sikap terhadap harta, ada satu hal yang harus senantiasa kita ingatkan agar mereka memiliki kehati-hatian yang tinggi. Kita perlu terus-menerus menumbuhkan rasa takut pada diri mereka tentang Hari Akhir ketika mereka harus mampu mempertanggung-jawabkan darimana ia memperoleh harta dan kemana ia membelanjakan hartanya. Dua-duanya harus benar. Membelanjakan harta untuk perkara yang benar, tetapi mendapatkannya dari sumber yang haram, maka tak ada yang layak baginya kecuali api neraka. Begitu pun sebaliknya, meski halal sumbernya dan bersih caranya, tetapi ia tetap berkewajiban untuk membelanjakan harta di jalan yang benar, untuk tujuan yang benar. Dan ini, harus kita mulai dari sekolah, meski tentu saja orangtua tetap bertanggung-jawab penuh.

Allah Ta’ala berfirman:

ثم لتسألن يومئذ عن النعيم

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takaatsur, 102: 8).

Sepele tampaknya, tapi sering terjadi dan dianggap biasa sehingga lama-lama tak merasa berdosa, salah satunya adalah ghashab (menggunakan harta orang lain tanpa hak). Jika itu banyak terjadi, maka cukuplah sebagai petunjuk bahwa murid masih belum memiliki rasa takut terhadap yang haram. Ini merupakan peringatan agar kita berusaha lebih serius menanamkan kehati-hatian pada anak terhadap perkara yang haram maupun syubhat.

Hari ini, kewajiban menanamkan kehati-hatian dalam masalah halal-haram terasa semakin mendesak. Rasanya, apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tentang keadaan manusia di akhir zaman telah nampak nyata di sekeliling kita. Rasulullah shallaLlahu alaihi wa sallam mengingatkan kita:

 لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

”Nanti akan datang suatu masa, di masa itu manusia tidak peduli dari mana harta itu ia peroleh, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram.” (HR Al-Bukhari).

Sekarang ini, manusia memuji-muji kekayaan dan seakan-akan ia menjadi ukuran kesuksesan. Telah banyak manusia dan bahkan lembaga Islam yang tak lagi peduli. Maka kalau anak-anak itu tidak kita bekali, bagaimana mereka akan mampu menghadapi fitnah di zamannya. Padahal, bukankah fitnah bagi ummat ini adalah harta?

Mari kita ingat sejenak sabda Nabi saw.:


إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

”Bagi tiap-tiap umat itu fitnah dan sesungguhnya fitnah umatku adalah harta.” (HR At-Tirmidzi dan Hakim).

Maka, mengajari mereka membelanjakan harta dengan benar sesuai haknya menurut syari’at, selain sebagai bagian penting dari proses pembentukan adab, juga merupakan bekal berharga dalam mengantarkan mereka menjadi manusia dewasa masa depan. Kemampuan mentasharrufkan harta sangat penting bagi proses ta’dib bersebab lurusnya mereka dalam urusan harta, berpengaruh pada sikap mereka terhadap ilmu dan dien. Wallahu a’lam bish-shawab.*

""Tulisan ini adalah bagian keenam seri tulisan tentang ta'dib yang dimuat di majalah Hidayatullah, dimuat di edisi bulan September 2012. InsyaAllah bulan depan saya akan membahas kelanjutan dari tulisan ini, masih tentang ta'dib. Tulisan lain terkait dengan ta'dib dapat dilihat di notes fb page ini maupun di situs Hidayatullah secara langsung.*

Mohammad Fauzil Adhim adalah penulis kolom Parenting Majalah Hidayatullah. Berbagai tulisan lain dapat dibaca di majalah Hidayatullah. @kupinang

Fikih Ranjang Pilihan (2)


Fikih Ranjang Pilihan (2)

Ini merupakan lanjutan pembahasan kumpulan fikih ranjang pilihan pada edisi sebelumnya, selamat membaca!
Istri Diancam Dosa Karena Tak Mau Melayani Suami Padahal Ia Bisa, Bagaimana bila sebaliknya?
Hal yang harus dipahami terkait dengan ancaman bagi wanita yang menolak diajak bersenggama oleh suaminya adalah bahwa ini masuk dalam bab diwajibkannya seorang istri bersikap patuh pada suami, selama bukan dalam maksiat.
Dalam hadits disebutkan,
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ
“Apabila seorang lelaki mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, maka hendaknya istri mendatanginya, meskipun ia sedang berada di hadapan tungku.” [1]
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke kasur (untuk bersenggama), lalu si istri menolak, maka para malaikat akan melaknatnya hingga datang waktu Shubuh.” [2]
Karena memang akad pernikahan bagi seorang wanita muslimah adalah janji ketaatan kepada Allah, kemudian kepatuhan pada suami. Sehingga Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– pernah berkata kepada seorang istri, saat wanita itu menjelaskan pelayanannya terhadap suaminya selama ini,
انْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Perhatikanlah, sebatas apa pelayananmu terhadapnya. Karena ia adalah Surgamu atau Nerakamu.” [3]
Artinya, hadits ini bukan berbicara soal bahwa kebutuhan seks yang wajib dipenuhi oleh pasangan itu hanyalah kebutuhan suami saja. Ini terkait soal kewajiban istri patuh pada suami dalam hal yang dihalakan oleh Allah.
Persoalan ini harus dipisahkan dengan konsep luas bahwa masing-masing pasutri harus berusaha memberi kebahagiaan bagi yang lain.
Seperti halnya rakyat yang harus taat kepada pemimpin, itu sama sekali berbeda dengan soal kewajiban masing-masing untuk menyejahterakan yang lain. Bahkan ada konsep dalam Islam bahwa pemimpin yang baik adalah yang pertama kali lapar saat paceklik dan terakhir kali kenyang dalam kemakmuran.
Suami memang tidak diancam seperti halnya istri saat ia tidak melayani kebutuhan seks istri, pada saat istri memintanya. Karena ancaman seperti itu berkaitan dengan konsep kepatuhan. Suami tak “diplot” untuk taat kepada istri. Tapi, itu bukan berarti si suami tidak berdosa saat mengabaikan kebutuhan istri. Karena dosa itu muncul melalui prosedur yang lain, yaitu kewajiban suami membahagiakan istri dan anak, juga konsep kewajiban suami menjaga anak dan istri dari jilatan api Neraka. Ini bukan main-main!
Soal kewajiban suami membahagiakan istri amatlah jelas. Perhatikan saja hadits yang sangat populer, “Hendaknya engkau memberi makan istrinya sebagaimana yang kamu makan, memberinya pakaian sebagai mana yang kalian kenakan…”
Begitu juga kebutuhan tempat tinggal, seks dan yang lainnya. Bila kebutuhan seks istri terabaikan, maka si suami bertanggung jawab di hadapan Allah. Berarti ia telah menzhalimi rakyatnya. Ancamannya jelas-jelas neraka.
Selain itu, ini juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan yang bila tak terpenuhi bisa berakibat seseorang bermaksiat. Bila suami membiarkan istri tak memenuhi hasrat seksualnya, lalu karena itu si istri bermaksiat, maka si suami turut menanggung dosanya di hadapan Allah. Ini juga bukan hal main-main.
Sehingga, pada akhirnya akan sama saja hukumnya –kalau tak bisa dibilang lebih berat– antara istri yang menolak diajak memenuhi kebutuhan seks suaminya, dengan suami yang menolak diajak memenuhi kebutuhan seks istrinya. Meski ancamannya berasal dari konteks yang berbeda. Wallaahu A’lam.
Hukum Fantasi Seks
Pada banyak pembahasan sudah saya tegaskan bahwa haram hukumnya seorang suami mefantasikan wanita lain, atau sebaliknya, seorang istri mefantasikan pria selain suaminya, baik saat tidak berhubungan seks, atau saat sedang melakukan hubungan seks.
Dalam buku saya, “Sutra Ungu”, saya sudah menegaskan tentang bahaya fantasi seks seperti ini. Karena Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
“Setiap Bani Adam mempunyai bagian dari zina, maka kedua mata pun berzina, dan zinanya adalah melalui penglihatan, dan kedua tangan berzina, zinanya adalah menyentuh. Kedua kaki berzina, zinanya adalah melangkah –menuju perzinaan. Mulut berzina, zinanya adalah mencium. Hati dengan berkeinginan dan berangan-angan. Dan kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan-nya.” [4]
Apa yang dimaksud dengan zina hati? Tentu saja membayangkan wanita yang tidak halal atau pria yang tidak halal untuk bermesraan, melakukan aktivitas seksual hingga alias berhubungan intim. Itulah zina hati. Adapun membayangkan istri sendiri saat sedang bepergian misalnya, bukanlah termasuk zina hati, karena istri maupun suami jelas-jelas halal bagi pasangannya.
Allah berfirman dalam Al-Quran,
“Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati…” (al-Mukmin : 19)
Ibnu Abbas menjelaskan, “Ayat ini menjelaskan tentang seorang pria yang apabila melihat kecantikan seorang wanita, ia akan membayangkan kemaluannya.” [5] Wal ‘iyaadzu billaah.
Memang tidak bisa ditampik, bahwa banyak kalangan seksolog umum yang memandang bahwa fantasi seksual seperti itu adalah wajar-wajar saja. Tapi Islam memiliki sudut pandang tersendiri. Memang, bila melihat tujuan dari fantasi tersebut, saat seseorang berhubungan seks dengan istrinya atau suaminya, lalu ia membayangkan pria atau wanita lain, kemudian dengan itu ia bisa mencapai kenikmatan tertinggi dalam hubungan seks serta memberi kenikmatan tertinggi bagi pasangannya, seolah-olah itu adalah sebuah pencapaian yang bagus dan layak diapresiasi.
Tapi tidakkah mereka membayangkan bahwa itu adalah sebuah pengkhianatan terselubung?
Tidakkah mereka memikirkan bahwa dengan cara itu mereka hanya bisa terpuaskan pada akhirnya dengan membayangkan orang lain saat berhubungan dengan pasangannya?
Tidakkah mereka membayangkan bahwa akhirnya mereka juga akan mengalami kebosanan dengan cara itu, dan fantasi itu tak lagi menolongnya sama sekali bahkan untuk aktivitas hubungan seks yang normal-normal saja?
Tidakkah mereka membayangkan bahwa itu akan menjadi hal yang mengotori hati mereka? Membuat mereka menyukai selain pasangan mereka?
Tidakkah mereka menyadari bahwa itu akan menjadi bibit perselingkuhan, sebagaimana itu memang sudah menjadi realitas dalam kehidupan rumah tangga banyak orang-orang kafir di dunia ini?
Tidakkah mereka sadar bahwa itu akan mengikis sedikit demi sedikit rasa suka dan cinta mereka terhadap fisik pasangan mereka? Semakin tidak menyukai penampilan mereka? Wallaahu A’lamu bishshawaab.
Bolehkan Melakukan Onani Dengan Bantuan Tangan istri?
Hukum yang benar dari onani adalah haram. Kalau seseorang terpaksa melakukan onani karena khawatir terjerumus dalam zina, maka yang menjadi sumber keharaman adalah hal-hal yang menyebabkan jiwanya bergejolak dan dirinya terdorong untuk melakukan onani. Misalnya, tayangan haram, bacaan haram, mendengar hal-hal yang haram yang menggugah syahwat, dan seterusnya.
Tapi bila itu dilakukan (dibantu-red) oleh istri, yakni bahwa istri tangan istri yang melakukannya, itu bukanlah onani. Karena seluruh bagian tubuh istri adalah halal, asalkan saat hal itu dilakukan, seorang suami tidak membayangkan wanita selain istrinya. Itu yang harus diingat. Begitu pula ejakulasi yang terjadi karena meletakkan penis di bagian tubuh tertentu dari istri (asal bukan bagian yang terlarang). Secara umum, ini juga menyerupai onani, tapi itu bukanlah onani.
Di sini, saya tegaskan kembali bahwa apa yang dilakukan oleh suami dengan memanfaatkan salah satu organ tubuh istri selain vagina untuk proses ejakulasi tidak bisa disebut onani. Kalaupun bisa disebut onani, maka itu adalah onani yang diperbolehkan. Karena secara fikih itu masuk bagian dari ishna’uu kulla syai-in illan nikaah, boleh lakukan apa saja terhadap istri yang sedang haid, kecuali penetrasi pada kemaluannya. Sementara onani lebih dikenal dalam bahasa fikih dengan istilah “istimnaa”.
Ejakulasi yang terjadi akibat interaksi dengan salah satu organ tubuh istri, termasuk tangan, selain pada kemaluannya –kecuali dalam kondisi ditutupi dengan kain– bukan termasuk istimnaa.
Insya Allah pembahasan fikih ranjang ini akan berlanjut pada edisi mendatang. (***)
Catatan Kaki:
[1] Tungku untuk memasak roti.
[2] Shahih al-Bukhari dalam kitab an-Nikah, bab: Apabila seorang istri tidur berpisah dengan suaminya, Hadits No.5193. Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab an-Nikah, bab: Diharamkannya menolak tidur dengan suami, Hadits No. 1436
[3] Dikeluarkan oleh Ibnu Abî Syaibah dalam Mushannaf-nya (IV : 304). Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (IV : 341). Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Awsath, juga oleh al-Haitsami dalam Majma’uz Zawâid (I : 170). Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan-nya (VIII : 291)
[4] Diriwayatkan oleh Muslim (IV : 2047).
[5] Diriwayatkan oleh al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid (VII : 102). Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (III : 398), dari hadits Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas.
Rubrik Fikih Keluarga, Majalah Nikah Sakinah, Vol.9 No.8, bln. November

Buatlah Ibumu Tertawa

Buatlah Ibumu Tertawa

 
Apakah kita seperti pria di China yang sedang merawat ibunya ini?

Senin, 12 November 2012

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim  
KALAU hari ini kita dapat meneggakkan kepala, ada kasih-sayang ibu yang tak akan pernah dapat engkau hapuskan jasanya. Kalau hari ini engkau dapat berbicara dengan jelas, itu karena kesabaran ibumu mengasuh dan mengajarimu mengucap kata demi kata. Kalau hari ini engkau merasai manisnya kehidupan, itu karena ibumu berkenan mengasuhmu penuh ketulusan.
Alangkah banyak wajah tampan yang susah menemukan kebahagiaan bersebab mereka tak pernah memperoleh usapan sayang dari ibunya. Alangkah banyak perempuan cantik yang tak dapat merasakan ketulusan meski sedetik, bersebab mereka tak memperoleh kasih-sayang di masa kecil.
Maka, sudahkah engkau bahagiakan ibumu? Perempuan yang wajahnya mulai berukir ketuaan itu, adakah ia semakin cepat tua karena amat seringnya menangis sedih karenamu? Ataukah ia menangis bahagia bersebab kebaikanmu padanya?
Teringatlah saya pada sebuah hadits:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : جئْتُ أبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ، وَتَرَكْتُ أَبَوَيَّ يَبْكِيَانِ، فَقَالَ: اِرْخِعْ عَلَيْهِمَا؛ فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا
“Seseorang datang kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Aku akan berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan aku tinggalkan kedua orangtuaku dalam keadaan menangis.”
Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kembalilah kepada kedua orangtuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Al-Baihaqi dan Al-Hakim, shahih).
Buatlah ibumu tertawa. Jangan buat ia menangis kecewa. Buatlah kedua orangtuamu tertawa. Bukan mentertawakan mereka.
Khusus tentang ibu, ada sebuah hadits yang amat perlu kita renungkan. Inilah hadis yang menunjukkan betapa tinggi kedudukan seorang ibu. Maka, berbahagialah engkau wahai para ibu jika engkau penuhi kewajibanmu sebagai ibu dengan penuh kesungguhan, ikhlas karena Ta'ala, mengharap ridha Allah 'Azza wa Jalla.
Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam bersabda:
    إن الله حرم عليكم عقوق الأمهات ووأد البنات ومنع وهات . وكره لكم قيل وقال وكثرة السؤال وإضاعة المال

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada ibu-ibu kalian, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menolak kewajiban dan menuntut sesuatu yang bukan menjadi haknya. Allah juga membenci jika kalian menyerbarkan kabar burung (desas-desus), banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadist ini, ada penekanan yang amat kuat tentang haramnya mendurhakai ibu. Nah, apakah yang telah engkau lakukan agar panjang umurnya ibumu dapat memudahkanmu masuk ke dalam surga-Nya?*

Mohammad Fauzil Adhim adalah penulis kolom Parenting Majalah Hidayatullah. Berbagai tulisan lain dapat dibaca di majalah Hidayatullah. twitter: @kupinang

Fikih Ranjang Pilihan (1)


Fikih Ranjang Pilihan (1)

Saudara-saudara seiman yang saya cintai karena Allah! Berikut ini adalah beberapa jawaban dari pertanyaan salah seorang saudara kita seiman, terkait dengan beberapa pembahasan yang pernah saya muat dalam beberapa majalah islam (termasuk Sakinah) dan buku saya Sutra Ungu (Panduan Berhubungan Intim Menurut Islam). Mengingat ulasan seputar pertanyaan ini membutuhkan lembaran-lembaran panjang, maka penjelasan di sini bisa disebut sebagai mukaddimah saja dari pembahasan panjang yang akan dijabarkan lengkapnya dalam berbagai kesempatan lain, Insya Allah.

1. Menonton Video Porno
Sebagian orang dari kalangan masyarakat awam –yang di antaranya adalah sebagian pakar seksologi nasional– beranggapan bahwa menonton video porno dengan tujuan agar gairah seks terhadap isteri meningkat itu sah-sah saja, dan bahkan bagus untuk kebahagiaan pasutri. Pendapat ini jelas-jelas keliru. Tidak ada kebaikan yang hanya bisa dicapai dengan cara haram, dan cara haram tak akan pernah memberi kemaslahatan, kecuali sedikit kemaslahatan yang akan ditumpangtindihi dengan berbagai kemudaratan lain yang jauh lebih menyiksa, dunia dan akhirat.
Memandang aurat lawan jenis yang bukan muhrim apalagi hingga bagian vitalnya adalah haram. Karena Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Setiap Bani Adam mempunyai bagian dari zina, maka kedua mata pun berzina, dan zinanya adalah melalui penglihatan, dan kedua tangan berzina, zinanya adalah menyentuh. Kedua kaki berzina, zinanya adalah melangkah –menuju perzinaan. Mulut berzina, zinanya adalah mencium. Hati dengan berkeinginan dan berangan-angan. Dan kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan-nya.” (Diriwayatkan oleh Muslim IV : 2047)
Anggapan bahwa itu dapat meningkatkan gairah seks, kalaupun itu benar, tak bisa menjadi penghalal dari hal yang sudah jelas keharamannya. Seperti anggapan bahwa minuman keras bisa menjadi obat, tak bisa menghalalkan minuman keras yang jelas-jelas haram.
Selain itu, anggapan itu bisa memberi manfaat sebuah suntikan gairah seks agar berguna dalam hubungan seks dengan isteri juga merupakan kesimpulan yang mandul.

Pertama,
karena bila itu benar, pasti menimbulkan ketagihan. Dan ia hanya bisa mencapai puncak gairahnya, bila terlebih dahulu menonton video tersebut. Ketergantungan ini amat berbahaya. Bagaimana dalam kondisi tak ada video? Pasti ia akan berusaha menggunakan imajinasinya. Dapatkan dibayangkan, saat menyetubuhi isteri seseorang justru membayangkan wanita lain dalam benaknya? Secara logika saja hal itu sungguh tak pantas.
Kedua, realitas membuktikan, bahwa banyak mereka yang biasa menonton video porno, mungkin dalam tahap awal untuk membangkitkan gairah berhubungan intim dengan isteri, kemudian meningkat menjadi kebiasaan menonton sebagai sebuah hobi baru. Setelah itu, mulai menjurus pada perselingkuhan karena tak mampu menahan libidonya, sementara isteri sedang haid misalnya, atau sedang bepergian jauh misalnya.
Ketiga, mereka yang menikmati melihat kecantikan dan kemolekan tubuh wanita lain, demikian juga wanita yang menikmati ketampanan dan keindahan tubuh pria lain dalam video porno tersebut, apalagi terkait dengan organ-organ vital pria maupun wanita, pasti akan membanding-bandingkan dengan isteri atau suaminya. Setelah mendapatkan bahwa selain isteri atau suaminya banyak yang lebih menarik, maka akan muncul hasrat melakukan petualangan seks dengan selain pasangan resminya. Terjadilah perselingkuhan. Meski tak terjadi pada setiap orang yang gemar menonon video porno, tapi banyaknya orang yang melakukan itu akibat kebiasaan menikmati sajian-sajian syahwat itu sudah cukup membuktikan bahwa mudarat dari kebiasaan itu jauh lebih banyak dan lebih berbahaya ketimbang manfaat yang didapat, yang itupun belum tentu hadir seutuhnya. Wallaahu A’lam.
2. Bolehkah Pasutri Merekam Adegam Persetubuhan Mereka dalam HP, Handy Cam dan sejenisnya?
Kaidah syariat menegaskan bahwa segala yang menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain hukumnya adalah haram. Sementara, merekam adegan persetubuhan dalam media-media tertentu yang berpotensi hilang, tercecer, lalu ditemukan orang lain –dan kemungkian itu sangatlah besar, terbukti nyaris setiap pemilik HP di tanah air pernah mengalami kehilangan hpnya– adalah bahaya yang tak dapat dipungkiri.
Hukum pornografi nasional sendiri menegaskan menyimpan tayangan porno dalam media yang sangat mungkin tercecer sehingga akhirnya menjadi konsumsi publik dapat terjerat pidana kriminalitas!
Maka, kebiasaan itu tergolong kebiasaan haram, atau minimal syubhat dalam katagori syubhat berat, meski dengan tujuan untuk dibawa suami bepergian dan ia tonton sendiri demi memuaskan hasrat seksualnya.
Nah, bila itu dilakukan seorang suami, maka ia telah terjebak dalam perbuatan haram lain, yaitu onani. Karena tak ada gunanya ia menonton video senggamanya dengan isterinya tersebut yang berujuan memuaskan nafsu seksnya, namun tidak dituntaskan dengan onani. Kalau itu ia lakukan, yakni menonton tanpa beronani, maka libido seks tertahan dan tak terpuaskan, yang timbul adalah hasrat lain untuk berselingkuh, yakni memuaskan nafsu seksnya dengan wanita lain yang belum sah menjadi isterinya!
3. Bagaimana Hukum Mengunakan Kata-kata Jorok dengan Istri Sebelum Berhubungan Badan?
Kalau kata-kata jorok itu bukan yang berarti membicarakan seks yang terkait dengan selain suami isteri tersebut, misalnya membicarakan tubuh wanita lain atau pria lain, tapi semata-mata kata-kata jorok secara umum demi menciptakan suasana hangat sebelum berhubungan seks, maka hukumnya adalah mubah, bahkan dianjurkan demi optimalisasi hubungan seks yang berarti bisa membantu menjaga iffah atau kesucian diri. Contohnya, suami menyebut-nyebut –maaf– kiasan dari bagian vital isterinya, atau isteri menyebut-nyebut kiasan dari alat vital suaminya. Yakni dengan hanya didengar oleh mereka berdua. Dianjurkan dengan kiasan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua, dikhawatirkan akan terdengar tanpa sengaja oleh orang lain, dan dapat menimbulkan godaan syahwat yang diharamkan.
Dalam Al-Quran dan hadits-hadits Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam –, kata-kata jorok itu disebut rofats. Kata rafats kadang diartikan sebagai jimak atau bersetubuh, kadang diartikan sebagai kata-kata jorok untuk membangkitkan gairah seks pasutri. Allah berfirman,
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata jorok), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal….” (Al-Baqarah : 197)
Para ulama menjelaskan, bahwa rafats itu dilarang dilakukan pasutri terhadap pasangan masing-masing saat berhaji, namun itu diperbolehkan di luar haji. Wallaahu A’lam.
4. Bagaimana Hukum menambah “Ukuran”?
Benar, bahwa bagi sebagian orang, size doesn’t matter, yakni bahwa ukuran bukanlah masalah. Tapi bagi sebagian orang, itu bisa menjadi masalah.
Artinya, sebagian orang bisa mengelola sebagian kekurangannya dengan kelebihan lain. Baik suami maupun isteri, bisa melakukan trik-trik tertentu demi kepuasan seks, meski seorang suami –maaf– memiliki kekurangan dalam soal ukuran alat vitalnya. Tapi, banyak orang yang kurang mampu dalam mengelola potensi seksnya, atau sering tak punya waktu cukup buat memikirkan trik-trik demi kepuasan seks, sementara dengan ukuran yang lebih besar ia mampu memberikan kepuasan seks buat dirinya dan buat isterinya. Maka, dalam hal ini, boleh saja menggunakan obat-obatan yang dapat membantu memperbesar ukuran alat vital, dengan catatan, obat itu halal, obat itu tak memberi efek samping yang berbahaya baik bagi organ-organ tubuh tertentu, atau malah terhadap alat vital itu sendiri di kemudian hari.
Artinya, bila obat itu bersifat membangun, memberi perbaikan, dan dibuat dari bahan-bahan yang diyakini kehalalannya, maka hukumnya mubah saja, bahkan bisa saja dianjurkan atau diperintahkan bila tanpa itu hubungan seks menjadi kacau. Membesarkan alat vital dalam konteks yang wajar melalui herbal dan terapi-terapi alternatif tertentu, nyaris sama dengan upaya membesarkan otot-otot tubuh, baik itu bisep, trisep otot dada, otot perut dan yang lainnya. Kesemuanya diperbolehkan asalkan bermanfaat dan tidak menimbulkan kerusakan pada tubuh orang tersebut, sehingga tak sebanding antara manfaat yang diperoleh dengan bahaya yang didapatkan. Wallaahu A’lamu bishshawaab.
Penulis: Ust. Abu Umar Basyir
Rubrik Fikih Keluarga, Majalah Nikah Sakinah, Vol.9 No.7, Oktober 2010

Penyebab si Kecil Mengumpat

Penyebab si Kecil Mengumpat

Abu dan Ummu, mungkin Anda pernah dibuat terkejut saat si kecil tiba-tiba sering mengeluarkan kata-kata kasar/mengumpat? Apakah Anda dibuat bingung bagaimana cara menghadapinya?
Abu dan Ummu, ada sejumlah faktor yang dapat memengaruhi timbulnya kebiasaan buruk tersebut, salah satunya adalah lingkungan. Mungkin Anda tidak menyadari bahwa perilakunya yang kasar diadaptasi dari lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga.

Beberapa Penyebab
1. Orang tua dan pola asuh
Pola asuh sangat berpengaruh pada tingkat emosi seorang anak dan cara bagaimana ia bersikap. Anda sebagai orang tua merupakan panutan baginya. Dari orang tua, si kecil untuk pertama kali mempelajari dan mencontoh perilaku. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam bersikap dan bertindak kepada siapapun, baik kepada anggota keluarga ataupun orang lain. Jangan sampai si kecil melihat dan meniru berperilaku Anda yang mungkin tanpa Anda sadari kasar terhadap orang lain.
2. Lingkungan luar
Lingkungan di sekitar rumah ataupun di sekolah juga berperan besar dalam pembentukan karakter anak.
3. Media
Beberapa jenis media, terutama TV dan komputer ikut memengaruhi perkembangan si kecil. Bentuk kekerasan serta kata cacian dan makian yang muncul dalam berbagai tayangan TV dan media lainnya dapat menambah kosa kata dan perilaku buruk si kecil.
4. Makanan
Mungkin tidak banyak yang tahu, ternyata faktor makanan juga dapat memicu perkembangan emosi anak. Jenis makanan yang mengandung tambahan zat kimia, pengawet, dan zat berbahaya diyakini dapat membuat si kecil temperamental.

Saat Si Kecil Marah

Saat Si Kecil Marah

Abu dan Ummu sekalian, si kecil marah-marah mungkin adalah hal yang kerap kita jumpai, meski kapasitas marah mereka tidak seperti orang dewasa tentunya. Kemarahan mereka akan terlihat jelas ketika menghadapi teman sebayanya atau adiknya. Sebagai orangtua hendaknya menghadapinya dengan bijak. Perlu Abu dan Ummu ketahui, marah adalah perubahan yang terjadi saat darah yang ada di dalam hati bergejolak sehingga menimbulkan kepuasan di dalam dada.
Yang perlu diperhatikan pula oleh orangtua ketika anak-anak kita dalam kemarahan, itu adalah kesempatan untuk memberikan kepada mereka pelajaran adab dan etika ketika marah. Namun selayaknya pelajaran ini diberikan saat kemarahan anak telah reda. Berikut ini, di antara adab dan etika saat marah:
1. Jelaskan bahwa kemarahan datangnya dari setan. adalah gejolak yang timbulkan oleh setan. Dia mengakibatkan berbagai bencana dan malapetaka yang tak seorang pun mengetahuinya melainkan Allah ta’ala. Maka berilah pengertian pada anak, marah datangnya dari setan yang terkutuk. Diharapkan akan terpatri dalam diri anak, jika dia marah maka setan lah yang memberinya sehingga dia akan berhenti marah.
2. Kenalkan wasiat Rasulullah untuk meninggalkan marah. Shadits yang diriwayatkan Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu , bahwa seorang lelaki meminta nasihat pada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,
أَوْصِنِي قَالَ:لاَ تَغْضَبْ, فَرَدَّدَ ذَلِكَ مِرَارًا قَالَ لاَ تَغْضَبْ
“Berilah wasiat kepadaku.” Nabi bersabda, ‘Janganlah engkau marah.‘ itu mengulangi (permintaannya) beberapa kali. Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– tetap bersabda, ‘Janganlah engkau marah.’” (Bukhari)
3. Kenalkan pula dengan pahala bagi orang yang meninggalkan amarah. Di antara pahalanya sebagaimana dijanjikan oleh Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam–,
“Janganlah marah, bagimu surga.” (Riwayat At Tabrani)
Juga sebagaimana sabda Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam– yang lain,
مَنْ َكظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَاِدرٌ عَلىَ أَنْ يُنَفِّذَهُ, دَعَاهُ اللهُ عَزَّوَجَلَّ عَلىَ رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَ هُ مِنَ اْلحُوْرِ مَا شَاءَ
“Barang siapa yang menahan kemarahannya sedangkan ia mampu untuk melakukannya maka Allah k akan menyeru dia di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat untuk dipilihkan baginya bidadari yang dikehendakinya.” (Riwayat Abu Dawud)
4. Berilah salah satu kisah saat Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– pernah dipancing untuk marah, yaitu ketika seorang badui menarik selendang leher beliau. Walau demikian, beliau tidak memaki dan membencinya. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Anas –rodhiyallohu ‘anhu–:
Aku berjalan bersama Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, saat itu beliau memakai kain dari Najran yang kasar pinggirnya, kemudian seorang badui datang menghampirinya dan menarik kain itu dengan tarikan yang sangat kuat, sampai aku melihat pada leher Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– di mana tarikan itu sampai membekas karena kuatnya tarikan tersebut, kemudian ia berkata, “Wahai Muhammad perintahkanlah (kepada kaummu) untuk membagikan kepadaku harta dari Allah yang ada di padamu, kemudian Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– meliriknya sambil tersenyum lalu beliau memerintahkan untuk diberikan bagian tertentu baginya.” (Mutaffaqun Alaihi)
5. Mengetahui bahwasanya menahan amarah adalah ciri orang yang bertakwa, hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala,
اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ اْلغَيْظَ وَالْعَاِفيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ اْلمُحْسِنِيْنَ
“Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya secara sembunyi dan terang-terangan dan orang yang menahan kemarahan serta memaafkan manusia, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. (Ali Imraan: 134)
Demikian beberapa pelajaran dari Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– saat marah mendera. Insya Allah edisi depan akan kita bahas beberapa tips dalam menghadapi marah yang bisa di ajarkan pada si kecil. Semoga bermanfaat. (abahnya shofi)