Minggu, 30 Desember 2012

sayangilah ibumu

Kapan Lagi Kita Menyayangi Ibu?
Hormati dan cintailah ibu kita karena apapun yang kita berikan takkan mampu membalas semua pengorbanan dan kebaikan ibu.

oleh: Arif Rahman Hakim

SETIDAKNYA  bagi sebagian orang, kehadiran seorang ibu dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Padahal, ibu adalah sosok luar biasa yang patut kita renungkan terus jasa-jasanya. Mengapa?


Ibu,sosok wanita yang telah melahirkan kita ke dunia. Sembilan bulan sepuluh hari lamanya ibu mengandung. Mual, beban berat dan sakit punggung mungkin sebagian kecil saja dari yang dirasakan oleh ibu. Tanpa mengeluh seorang ibu menjaga kehamilan dengan harapan sang anak dapat lahir dengan selamat dan sehat. Pada proses kelahiranpun sang ibu harus bertarung nyawa demi sang buah hati tercinta,


وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS: Al-Ahqaaf [46]:15).

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِي

“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS Luqman [31]: 14).

Ada sebuah kisah. Seseorang datang ke Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam. Ia bercerita telah menggendong ibunya di pundaknya sendirian selama menjalani seluruh rukun dan wajib haji. Ia ingin mengetahui apakah perbuatannya itu telah dapat membalas kebaikan yang selama ini ditunjukkan ibunya di masa kanak-kanak. Rasulullah menjawab, ”Tidak. Semua yang telah kau kerjakan itu belum dapat membalas satu kali rasa sakit karena kontraksi rahim ketika ibumu melahirkanmu ke dunia.” Subhanallah, begitu berat penderitaan seorang ibu.

Ketika sang buah hati lahir ke dunia, tentu disambut dengan suka cita. Tangis haru bahagia seakan menghapus rasa sakit selama proses kehamilan dan proses kelahiran. Sungguh Allah Subhanahu Wata'ala adil. Do’a harapan tercurahkan semoga menjadi anak yang berbakti dan berguna pada agama, orang tua, keluarga dan masyarakat.

Hari-hari selanjutnya adalah menunaikan amanah yaitu membesarkan sang anak. Kurang tidur, kurang istirahat, telat makan adalah hal sering harus dilalui seorang ibu. Letih fisik dan psikis adalah hal yang biasa. Belum lagi bila sang anak sakit, ibu dengan ikhlas tidak tidur semalaman untuk menjaga sang anak. Tanpa mengharap pamrih, semua itu dilakukan agar sang anak tenang dan bahagia. Ibaratnya, ibu rela sakit untuk menggantikan rasa sakit sang anak.

Mendidik anak juga menjadi kewajiban ibu, di mana mendidik anak dimulai dari dalam kandungan sampai sang anak dewasa. Bisa dikatakan rumah dan ibu adalah sekolah dan guru pertama bagi anak. Ya, ibu adalah guru utama dan pertama bagi anak-anak. Pelajaran yang dapat diperoleh secara gratis tanpa ‘ biaya’ apapun. Belajar makan, belajar jalan, belajar memakai baju dan sebagainya. Apapun pertanyaan yang terlontar dari sang anak, sang ibu akan berusaha mencari jawaban terbaik. Dapat dikatakan ibu harus dapat berperan dengan berbagai macam karakter yang semua harus diperankan dengan baik.

Kehebatan seorang ibu bukan hanya dalam hal membesarkan anak. Mengurus, suami, rumah tangga dan segala pekerjaan ‘rumah’ yang harus diselesaikan dengan baik. Semua itu dilakukan mulai dari bangun tidur sampai akan tidur kembali, begitu setiap hari. Jika tidak dilakukan dengan ikhlas tentunya semua pekerjaan tersebut tidak akan terselesaikan dengan baik.

Sungguh berat tanggung jawab seorang ibu yang mungkin kita tidak menyadarinya. Kemuliaan seorang ibu tertuang dalam sebuah kisah dari sahabat Abu Hurairah radiyalhu ‘anhu. Beliau berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah, kemudian dia bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau bersabda, “Ibumu”, Orang tersebut bertanya lagi ”Kemudian siapa?”. Beliau bersabda, ”Ibumu”. Orang tersebut bertanya lagi, ”kemudian siapa?” Beliau bersabda, ”Ibumu”. Orang tersebut bertanya lagi, ”kemudian siapa?”. Beliau bersabda, ”Bapakmu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Begitu mulianya seorang ibu sampai disebut tiga kali oleh Rasulullah SAW.

Ketika sang anak beranjak dewasa, ada bermacam tingkah polah yang -secara langsung atau tidak- dapat menyakiti hati ibu. Celakanya lagi sang anak tidak merasa melakukan kesalahan. Tentu kita juga sering membuat sedih atau marah ibu, tapi apa reaksi ibu? Kalimat nasehat yang keluar dari beliau. Atas kesalahan apapun yang kita lakukan, ibu tetaplah ibu yang dengan segala kehalusan sifat dan perilakunya akan selalu memaafkan kita.

Begitu dahsyat kasih sayang seorang ibu bagi putra-putrinya. Maka, masihkah kita akan ‘tega’ menyakiti beliau setelah kita tahu apa yang telah ibu lakukan untuk kita. Pernahkah kita membayangkan jika suatu saat akan ditinggal ibu untuk selamanya? Sudahkah kita membahagiakan ibu kita tercinta atau setidaknya membuat ibu tersenyum? Bila kita belum melakukannya, segera lakukan selagi ada waktu. Jangan jadikan alasan kesibukan untuk ‘menjauh’ dari ibu.

Sudahkah kita memohon maaf atas semua kesalahan kita kepada ibu? Segeralah memohon maaf dan doa restu selagi kita punya kesempatan. Jangan menunggu esok hari karena kita tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemput. Bila ibu kita telah meninggal, jangan pernah lelah dan berhenti berdo’a memohonkan ampunan kepada Allah SWT agar ibu kita mendapat tempat yang layak disisi-Nya.

Hormati dan cintailah ibu kita karena apapun yang kita berikan takkan mampu membalas semua pengorbanan dan kebaikan ibu. Sungguh, bukan materi yang ibu harapkan dari kita. Tapi, cukup sekadar perhatian dan do’a.

“Yaa Allah, jangan biarkan kami terlambat dalam menyadari bahwa betapa kehadiran seorang ibu di sisi kami itu nilainya luar biasa. Yaa Allah, beri kami kesempatan untuk bisa membahagiakan ibu. Yaa Allah, jadikan sepanjang umur ibu kami dipenuhi barakah-Mu. Yaa Allah, sayangilah ibu kami sebagaimana beliau menyayangi kami sedari kecil hingga kini. Yaa Allah, ampunilah ibu kami. Aamiin.*

Penulis alumnus Unair dan peminat masalah sosial-keagamaan. Artikel ini pernah dimuat di media ini pada tahun 2011
sumber : http://m.hidayatullah.com/index.php/Berita/detail/26471

cara mengasuh anak menurut islam

Mendurhakai Anak
Dulu orangtua meratakan keningnya untuk mendo’akan anak. Sekarang banyak orangtua meminta anak berdo’a untuk kesuksesan karier orangtuanya

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

SEORANG laki-laki datang menghadap Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu. Ia bermaksud mengadukan anaknya yang telah berbuat durhaka kepadanya dan melupakan hak-hak orangtua. Kemudian Umar mendatangkan anak tersebut dan memberitahukan pengaduan bapaknya. Anak itu bertanya kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak pun mempunyai hak-hak dari bapaknya?” . “Ya, tentu,” jawab Umar tegas. Anak itu bertanya lagi, “Apakah hak-hak anak itu, wahai Amirul Mukminin?”. “Memilihkan ibunya, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan al-Qur’an kepadanya,” jawab Umar menunjukkan. Anak itu berkata mantap, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku belum pernah melakukan satu pun di antara semua hak itu. Ibuku adalah seorang bangsa Ethiopia dari keturunan yang beragama Majusi. Mereka menamakan aku Ju’al (kumbang kelapa), dan ayahku belum pernah mengajarkan satu huruf pun dari al-Kitab (al-Qur’an). “Umar menoleh kepada laki-laki itu, dan berkata tegas, “Engkau telah datang kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu. Padahal, engkau telah mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu. Engkau pun tidak berbuat baik kepadanya sebelum dia berbuat buruk kepadamu.”

Kata-kata Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu ini mengingatkan kepada kita -para bapak- untuk banyak bercermin. Sebelum kita mengeluhkan anak-anak kita, selayaknya kita bertanya apakah telah memenuhi hak-hak mereka. Jangan-jangan kita marah kepada mereka, padahal kitalah yang sesungguhnya berbuat durhaka kepada anak kita. Jangan-jangan kita mengeluhkan kenakalan mereka, padahal kitalah yang kurang memiliki kelapangan jiwa dalam mendidik dan membesarkan mereka.

Kita sering berbicara kenakalan anak, tapi lupa memeriksa apakah sebagai orangtua kita tidak melakukan kenakalan yang lebih besar. Kita sering bertanya bagaimana menghadapi anak, mendiamkan mereka saat berisik dan membuat mereka menuruti apa pun yang kita inginkan, meskipun kita menyebutnya dengan kata taat. Tetapi sebagai orangtua, kita sering lupa bertanya apakah kita telah memiliki cukup kelayakan untuk ditaati. Kita ingin mereka mengerti keinginan orangtua, tapi tanpa mau berusaha memahami pikiran anak, kehendak anak dan jiwa anak.

Pendidikan yang kita jalankan pada mereka hanyalah untuk memuaskan diri kita, atau sekedar membebaskan kita dari kesumpekan lantaran dari awal sudah merasa repot dengan kehadiran mereka. Bahkan, ada orangtua yang telah merasa demikian repotnya menghadapi anak, ketika anak itu sendiri belum lahir.

Teringatlah saya ketika suatu hari pergi bersama istri dan anak saya. Muhammad Nashiruddin An-Nadwi, anak saya yang keempat, masih bayi waktu itu dan sedang lucu-lucunya (sekarang pun dia masih sangat lucu dan menggemaskan) . Sembari menunggu bagasi, seorang ibu yang modis bertanya kepada istri saya, “Anak pertama, Bu?”. “Bukan,” jawab istri saya, “Ada kakaknya, cuma nggak ikut.” “Ou. Memangnya, berapa anaknya, Bu?” tanya ibu itu segera. “Baru empat. Ini anak yang keempat,” jawab saya ikut menimpali. “Empat???” tanya ibu itu dengan mata terbelalak. Tampaknya ia kaget sekaligus heran. Kemudian dia segera mengajukan pertanyaan berikutnya, “Yang paling besar sudah kelas berapa?”. “TK A. Nol kecil,” jawab istri saya.

Ibu itu tampak sangat kaget. Begitu kagetnya, sehingga nyaris berteriak, “Ya, ampun.. Empat! Apa nggak repot itu? Saya punya anak satu saja rasanya sudah repot sekali. Ribut. Nggak mau diatur. Apalagi kalau empat. Nggak terbayang, deh. Bisa-bisa mati berdiri saya.”.

Ungkapan spontan ibu ini adalah cermin kita, cermin yang menggambarkan betapa banyak orang yang menjadi orangtua semata-mata karena dia punya anak.Bukan gambaran tentang kematangan jiwa atau kualitas kasih sayang. Anak hadir dalam kehidupan mereka semata-mata sebagai resiko menikah, sehingga sinar mata anak-anak yang masih jernih tanpa dosa tak mampu membuat orangtuanya terhibur.

Terkadang orangtua sudah lama merindukan anak. Tetapi ia memiliki gambaran sendiri tentang anak seperti apa yang harus lahir melalui rahimnya, sehingga ia kehilangan perasaan yang tulus saat Allah benar-benar mengaruniakan anak.Terlebih ketika yang lahir, tidak sesuai harapan. Orangtua yang sudah terlalu panjang angan-angannya, bisa melakukan penolakan psikis terhadap anak kandungnya sendiri. Atau memperlakukan anak itu agar sesuai dengan harapannya. Inginnya anak perempuan, yang lahir laki-laki. Maka anak itupun diperlakukan seperti perempuan, sehingga ia berkembang sebagai bencong. Atau sebaliknya, anak itu menjadi bulan-bulanan kekesalan orangtua, bahkan ketika anaknya sudah memiliki anak. Ketika anaknya sudah menjadi orangtua.

Kejadian semacam ini tidak hanya sekali terjadi di dunia. Karena yang lahir tidak sesuai harapan, kadang anak akhirnya menjadi tempat menimpakan kesalahan. Apapun yang terjadi, anak inilah yang menjadi kambing hitam. Setiap ada yang salah, anak inilah yang harus ikut menanggung kesalahan. Atau bahkan dia yang harus memikul seluruh kesalahan, meskipun bukan dia penyebabnya. Terkadang bentuknya tidak sampai seburuk itu, tetapi akibatnya tetap saja buruk. Anak merasa tertolak. Ia tidak kerasan di rumah, meskipun rumahnya menawarkan kemegahan dan kesempurnaan fasilitas. Ia merasa seperti tamu asing di rumahnya sendiri.

Saya teringat dengan cerita seorang kawan yang mengurusi anak-anak jalanan. Suatu ketika ia menemukan seorang anak yang babak belur mukanya dihajar sesama anak jalanan karena berebut lahan di sebuah stasiun. Wajahnya sudah nyaris tak berbentuk. Anak ini kemudian ia selamatkan. Ia rawat dengan baik dan penuh kasih-sayang. Setelah kondisi fisiknya pulih dan emosinya pun sudah cukup baik, ia tawarkan kepada anak itu dua pilihan; dipulangkan ke rumah orangtua atau dikirim ke sebuah lembaga pendidikan. Seperti anak-anak lain di muka bumi, selalu ada perasaan rindu pada orangtua. Maka ia mengajukan pilihan dipulangkan ke rumah orangtua.

Staf dari kawan saya ini kemudian berangkat mengantarkan pulang ke sebuah kota di Jawa Tengah. Nyaris tak percaya, orangtua anak itu ternyata memiliki kedudukan yang cukup terhormat. Bapaknya seorang jaksa dan ibunya seorang kepala sekolah sebuah SMP. Rumahnya? Jangan tanya. Mereka sangat kaya. Cuma satu yang mereka tidak punya: perasaan. Melihat anaknya yang sudah dua tahun meninggalkan rumah, tak ada airmata haru yang menyambutnya. Justru perkataan yang sangat tidak bersahabat, “Ngapain kamu pulang?”. Melihat sambutan yang sangat tidak bersahabat ini, staf teman saya segera mengajak anak itu kembali ke Jogja.

Tak ada airmata yang melepas. Tak ada rasa kehilangan dari orangtua saat anak itu kembali meninggalkan rumah.Yang ada hanyalah perasaan yang remuk pada diri anak. Di saat ia ingin dididik oleh orangtua yang menjadi pendidik di SMP, yang ia dapatkan justru sikap sangat kasar. Benar-benar perlakuan yang sangat kasar, menyakitkan dan menghancurkan perasaan. Jangankan anak yang masih usia SD itu, pengantarnya yang sudah dewasa pun merasakannya sebagai penghinaan luar biasa. Penghinaan tanpa perasaan, tanpa nurani dan tanpa kekhawatiran akan beratnya tanggung-jawab di yaumil-akhir. Karena itu, tak ada pilihan yang lebih baik kecuali menyingkirkan si anak dari orangtuanya yang durhaka.

Kisah anak jalanan ini hanyalah satu di antara sekian banyak kedurhakaan orangtua pada anak. Tak sedikit anak jalanan yang lari dari rumah dan lebih memilih kolong jembatan sebagai tempat tinggal, padahal orangtuanya memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan kekayaan yang besar. Seorang anak jalanan yang sudah direhabilitasi, orangtuanya ternyata anggota dewan sebuah daerah.

Apa yang terjadi sesungguhnya? Banyak hal, tetapi semuanya bermuara pada hilangnya kesadaran bahwa anak-anak itu tidak hanya perlu dibesarkan, tetapi harus kita pertanggungjawabkan ke hadapan Allah Ta’ala. Hilangnya kesabaran menghadapi anak, kadang karena kita lupa bahwa di antara keutamaan menikah adalah menjadikannya sebagai sebab untuk memperoleh keturunan (tasabbub). Kita membatasi berapa anak yang harus kita lahirkan demi alasan kesejahteraan dan kemakmuran, sembari tanpa sadar kita melemahkan kesabaran dan kegembiraan kita menghadapi anak-anak.

Dulu, sebagian orangtua kita bekerja sambil memikirkan nasib anak-anak kelak setelah ia mati: masih samakah imannya? Sekarang banyak orangtua mendekap anaknya, tetapi pikirannya diliputi kecemasan jangan-jangan satu peluang karier terlepas akibat kesibukan mengurusi anak.

Dulu orangtua meratakan keningnya untuk mendo’akan anak. Sekarang banyak orangtua meminta anak berdo’a untuk kesuksesan karier orangtuanya.*

Mohammad Fauzil Adhim adalah penulis kolom Parenting Majalah Hidayatullah. Berbagai tulisan lain dapat dibaca di majalah Hidayatullah. twitter: @kupinang
sumber : http://m.hidayatullah.com/index.php/Berita/detail/26286

aturan syariat bercinta dalam hukum islam

Beginilah Adab Rasulullah Bercinta!
Setan tak akan membelit kemaluan seseorang saat berjima' jika dibacakan basmalah (doa sebelum jima’)

SEBAGAI makhluk sempurna, manusia juga memiliki rasa cinta. Sebuah rasa yang jika benar-benar dilandasi iman akan menghadirkan kekuatan super dahsyat yang mampu menjadi motor penggerak perubahan.

Cinta yang tumbuh karena iman adalah bahtera terbaik untuk sukses mengarungi samudera kehidupan di dunia dan akhirat. Demikianlah cinta antara Nabi Ibrahim dan Siti Hajar, Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah, serta cinta Sayyidina Ali dengan Fatimah Az-Zahrah. Itulah mengapa Islam sebagai sebuah peradaban memandang cinta sebagai perkara utama.

Tidak salah jika kemudian muncul ungkapan bahwa, peradaban juga dimulai dari ranjang. Karena Islam sebagai agama tidak melewatkan satu perkara pun dalam kehidupan ini, melainkan telah mengaturnya dengan sedemikian rupa, termasuk dalam perkara bercinta.

Bahkan jauh sebelum ke ranjang, setiap Muslim harus benar-benar teliti, cermat, dan cerdas dalam menentukan siapa pasangan yang tepat dalam kehidupannya, sehingga semakin kokoh keimanan, semakin kuat ketakwaan, dan semakin menggelora ketaatan dalam menapaki jalan kebenaran. Inilah cinta yang benar.

Rasulullah menjelaskan bahwa ada empat syarat utama untuk melihat calon pasangan. Mulai dari kecantikan, keturunan (nasab), kekayaan, hingga keyakinan (agama). Dan, dari semua kriteria itu, keyakinan (agama) adalah yang utama harus diprioritaskan.

“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama, niscara engkau beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tuntunan Nabi dalam Bercinta
Maka tidak heran jika Rasulullah memberi petunjuk yang sangat sempurna terkait urusan cinta ini, sehingga tidak saja mendatangkan kenikmatan ragawi, tetapi juga menyehatkan jiwa dan menentramkan hati. 

Nah, di era modern ini, cara bercinta Nabi adalah cara paripurna untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, sehingga tidak ada yang lebih indah bagi seorang suami melainkan istrinya sendiri. Dan, tidak ada yang sangat menawan bagi seorang istri, selain suaminya sendiri. Dalam spirit cinta mereka, tertanam harapan kuat, akan lahirnya generasi rabbani, generasi qur’ani yang hidup untuk mengabdi kepada Allah demi menjayakan Islam dan umat Islam.

Lantas, bagaimanakah cara terbaik untuk memperagakan kehidupan special itu sehari-hari bersama istri atau suami?

Pertama, ciptakanlah suasana rumah yang romantis. Suasana rumah yang membuat suami betah di dalam rumah. Dan, selalu siap bercinta dengan pasangan setiap kehendak untuk hajat terindah kehidupan dunia itu muncul dari suami (pasangan). Para pria sering lalai urusan romantisme ini. Padahal banyak wanita suka dengan suasana romantis.

Kedua, jangan suka menunda dan menolak.  Nabi yang melarang seorang istri menolak ajakan suami. Umumnya pria agresif sedang wanita pemalu.  Dalam sebuah hadits dituturkan, Rasulullah bersabda: “Jika seorang istri dipanggil oleh suaminya karena hajat biologisnya, maka hendaknya segera datang, meski dirinya sedang sibuk.” (HR Turmudzi).

Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Allah melaknat wanita yang menunda-nunda, yaitu seorang istri ketika diajak suaminya ke tempat tidur, tetapi ia berkata, 'nanti dulu', sehingga suaminya tidur sendirian.” (HR Khatib).

Dalam hadis lain dituturkan: “Jika suami mengajak tidur istrinya, lalu sang istri menolak, yang menyebabkan sang suami marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi tiba.” (HR Bukhari dan Muslim).

Bagi mereka yang terserang virus feminisme, mungkin makna hadits itu bisa diselewengkan. Tetapi, jika kita kaji lebih dalam, sebenarnya hadits itu mengajak para istri untuk mampu menciptakan suasana rumah tangga yang hangat penuh gelora cinta.

Dengan kata lain, istri harus mempersiapkan segalanya demi kenikmatan bercinta bersama suami. Dan, istri yang cerdas, tidak akan pernah menemui suaminya dalam kondisi terpanggil, tetapi menyerahkan diri dengan sepenuh hati. Dengan cara seperti itu, Insya Allah, kehidupan rumah tangga akan bahagia selamanya.

Ketiga, mengatur waktu. Suami juga jangan sampai salah paham. Hadits di atas tidak berarti suami punya hak memaksa. Suami juga harus tahu diri, apakah para istri dalam keadaan kelelahan setelah bekerja seharian di rumah atau tidak. Maka sebaiknya masalah ini saling memahami.  Suami-istri  sebaiknya bisa mengatur waktu, sehingga aktivitas bercinta dapat terlaksana sesuai dengan yang seharusnya.

Jadi, berusahalah untuk bisa mengatur waktu, sehingga terciptalah keharmonisan rumah tangga

Keempat, bercintalah sesuai tuntunan Nabi. Proses bercinta adalah bagian dari iman, maka pelaksanaannya pun harus sesuai tuntunan Nabi. Tidak boleh keluar dari koridor yang telah ditetapkan oleh Islam. Sebab bercinta (making love) bukan sekedar pemuasan diri, tetapi juga proses persiapan melahirkan generasi rabbani. Oleh karena itu, aktivitas bercinta harus juga karena Allah Subhanahu Wata’ala dan diniatkan karena ibadah, bukan sekedar kesenangan biologis semata.

Kelima, pada tempat yang benar secara syariat.  Mendatangi istri pada tempatnya (farji) bukan yang lain (dubur/anal). Jika sampai hal itu terjadi, maka baginya laknat Allah Subhanahu Wata’ala.

Rasulullah bersabda, “Allah tidak akan melihat orang yang menyetubuhi seorang laki-laki atau isterinya pada bagian dubur.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).

Itulah mengapa Islam tidak mengenal konsep homo-seksual atau lesbianisme. Karena alat kelamin manusia diciptakan oleh-Nya bukan semata untuk memuaskan keinginan, tetapi juga melahirkan generasi. Jadi, aktivitas bercinta yang tidak sesuai syariat Islam adalah haram.

Akan tetapi Islam memberi kebebasan suami istri dalam melakukan hubungan intim terkait dengan gaya yang dipilih. Hal ini Allah tegaskan dengan sebuah ilustrasi yang sangat gamblang, terkait bagaimana gaya suami bertemu istri.

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al-baqarah [2]: 223).

Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut juga mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.

“Isteri-isteri kalian adalah (seperti) lahan tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah lahan tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki”.

Bahkan lebih tegas Rasulullah juga pernah bersabda, “Datangilah mereka dengan cara bagaimanapun selama masih pada kemaluan.” (HR. Ahmad).

Keenam, bersih dan berhias diri seindah/sewangi mungkin. Sudah fitrah manusia suka melihat yang indah dan mencium yang harum. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar suami istri untuk suci, bersih dan berhias diri sebelum melakukan jima’. Dengan cara seperti itu, maka hasrat cinta akan tetap terjaga, sehingga terciptalah keharmonisan rumah tangga yang luar biasa.

Rasulullah mengingatkan kepada para suami, agar tidak menyetubuhi istri mereka dalam keadaan nifas dan haid. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang bersenggama dengan wanita yang sedang haid, atau menyetubuhi wanita dari dubur (lubang anus)-nya, atau mendatangi paranormal (ahli tenung), dan mempercayai ramalannya, Maka sejatinya ia telah kufur (ingkar) dengan apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad."  (HR Abu Daud).

Ketujuh, kemesraan dan rayuan. Bahkan, suami dan istri boleh bermesra-mesraan ketika sang istri sedang haid, selama tidak dilanjutkan dengan hubungan sanggama di antara mereka. Aktivitas bermesra-mesraan ini dalam dunia fiqh biasa disebut dengan istilah istimta’, yang berarti bersenang-senang, berlezat-lezat, atau bernikmat-nikmat. Jadi, awalilah pertemuang dengan suami atau istri dengan bercumbu rayu.

Banyak para suami melupakan masalah ini. Seolah-oleh yang terpenting hanyalah menunaikan syahwat dan hasrat sesegra mungkin.  Padahal, rayuan dan pemanasan (foreplay) sebelum jima’ memiliki pengaruh yang besar dalam membangkitkan syahwat istri dan meningkatkan keingannya untuk berhubungan.

Dari Ibnu Qudamah; ”Dianjurkan (disunahkan) agar seorang suami mencumbu istrinya sebelum melakukan jima’ supaya bangkit syahwat istrinya, dan dia mendapatkan kenikmatan seperti yang dirasakan suaminya. Dan telah diriwayatkan dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah bahwasanya dia berkata:”Janganlah kamu menjima’ istrimu, kecuali dia (istrimu) telah mendapatkan syahwat seperti yang engkau dapatkan, supaya engkau tidak mendahului dia menyelesaikan jima’nya (maksudnya engkau mendapatkan kenikmatan sedangkan istrimu tidak).

Dan termasuk bentuk cumbu rayu adalah berciuman, memainkan bagian tunuh dan bersentuhan kulit dengan kulit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu mencium istrinya sebelum jima’. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu ketika dia menikah dengan janda:

“فهلا بكراً تلاعبها وتلاعبك” (رواه الشيخان)، ولمسلم “تضاحكها وتضاحكك”

“Kenapa tidak gadis (yang engkau nikahi) sehingga engkau bisa mencumbunya dan dia mencumbumu?” (HR. Biukhari dan Muslim) dan dalam riwayat Muslim:”Engkau bisa mencandainya dan dia mencandaimu?”

Delapan
,  berdoa, ini aktivitas paling penting sebelum berdoa.  Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas dituturkan, Rasulullah bersabda: "Jika salah seorang diantara kalian hendak mencampuri istrinya, maka hendaknya sebelum senggama membaca doa: بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Bismillah, Allahumma jannibnaa asy-syaithan, wa jannib asy-syaithana ma razaqtana” (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari Setan. Dan jauhkan setan dari apa-apa yang Engkau karuniakan kepada kami (anak keturunan).

Dengan memanjatkan doa, diharapkan anak yang lahir dari buah percintaan bisa menjadi anak yang sholeh-sholehah dan takwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Dengan berdoa, kata Nabi, “Kemudian dia dikaruniai seorang anak, maka setan tidak akan memberikan madharat kepadanya selamanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Sebagian ulama berpendapat, makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setan tidak akan memberikan madharat kepadanya selamanya.” Di antara pendapat itu mengatakan,  dengan berdoa saat jima’ setan tidak mampu menguasai anak ini, karena keberkahan bacaan basmalah. Sehingga mereka termasuk di antara hamba Allah, yang Allah sebut dalam al-Quran, di mana setan tidak memiliki kekuatan untuk mengalahkan mereka.

Allah berfirman tentang mereka yang artinya, “Sesungguhnya, hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (QS. al-Hijr: 42).

Pendapat lain mengatakan, jika kita berdoa, setan tidak bisa ikut bergabung bersama sang suami untuk menyetubuhi istrinya. Sebagaimana riwayat dari Mujahid, beliau mengatakan;

“Sesungguhnya, orang yang ber-jima’ dan dia tidak membaca basmalah (doa sebelum jima’), maka setan membelit kemaluan orang ini dan ber-jima’ bersamanya.” Ibnu Hajar mengatakan, “Barangkali, inilah pendapat yang paling mendekati.” (Fatwa al-Islam: Tanya-Jawab, no. 21734)
Berwudhu

Jika suami selesai melakukan hubungan dan ingin mengulanginya lagi,Rasulullah menganjurkan berwudhu terlebih,  sebagaimana sabdanya:

“إذا أتى أحدكم أهله ثم أراد أن يعود فليتوضأ [بينهما وضوءا] وفي رواية: وضوءه للصلاة فإنه أنشط في العود ”

“Apabila kamu telah selesai mendatangi isterinya dan ingin mengulanginya lagi,maka hendaklah berwuduklah di antara keduanya (hubungan seks) ,dan dalam riwayat lain: Wuduk seperti wuduk solat kerana ianya memberi kecergasan dan mengulanginya lagi”. (HR Imam Muslim (1/171), Ibnu Abi Syaibah)

Dengan demikian, maka akan terciptalah keharmonisan suami istri, keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Jadi, jangan salah, Islam juga punya aturan tentang cinta. Menariknya apa yang Islam syariatkan dalam hubungan suami istri adalah suatu aturan yang sesuai dengan nurani manusia. Selamat hidup hidup sehat dan bahagia, tentusaja, dengan cara Rasulullah agar mendapat berkah, terutama anak-anak yang sholeh dan sholihah.*/Imam Nawawi
sumber: http://m.hidayatullah.com/index.php/Berita/detail/26543

Ibuku tercinta

Pengorbanan seorang ibu adalah pengorbanan terbesar disisi seorang anak. Segala jasa yang dicurahkan oleh seorang ibu kepada anaknya perlu dihargai dengan sebaiknya. Malah penghargaan yang berupa milyaran rupiah sekalipun tidak cukup untuk membalas segala jasa dan pengorbanan seorang ibu.

Selama 9 bulan kita bernafas di dalam perut ibu. Selama 9 bulan itu jugalah segala penderitaan dan kesusahan yang ibu alami,ibu tanggung dengan penuh kasabaran. Melalui ibu kita dilahirkan ke dunia fana ini. Melalui seorang ibu kita disusukan dan dibelai dengan penuh kasih sayang. Susah payah ibu membesarkan kita agar menjadi seorang insan yang sempurna di dunia dan akhirat. Betapa besarnya pengorbanan seorang ibu terhadap seorang anak.

"Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan". Surah Maryam: 23.

Secara keseluruhannya, hidup setiap manusia akan sentiasa melibatkan seorang insan yang bergelar ibu. Tidak pernah putus belas kasih, sayang dan sumbangan ibu kepada anaknya sejak sebelum lahir sehingga mencecah usia ke hari ini. Derajat ibu sangat tinggi disisi Allah SWT. ALLAH SWT  berfirman di dalam al-Quran tentang kepentingan menghormati ibu dan bapa.


"Sembahlah ALLAH, janganlah kamu mempersekutukanNYA dengan sesuatu pun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu dan bapa kamu." - Surah an-Nisa: 36.

Tapi malangnya anak-anak kini lebih mengutamakan jejak langkah Si pendurhaka. Umumnya, mereka suka memandang remeh terhadap pengorbanan seorang ibu tatkala menjangkau usia dewasa pada hari tua ibu. Persoalannya, berapa banyak yang sanggup menyuapkan ibunya? Berapa banyak yang sanggup mencuci muntah ibunya? Berapa banyak yang sanggup mengantikan lampin ibunya? Berapa banyak yang sanggup membersihkan najis ibunya? Berapa banyak yang sanggup membuang ulat dan membersihkan luka kudis ibunya? Berapa banyak yang sanggup berhenti kerja untuk menjaga ibunya? DAN akhirnya berapa banyak yang mensholati JENAZAH ibunya? Sama-sama kita renungkan.

Kesimpulannya, nilai kasih seorang ibu tidak dapat diganti dengan emas, permata atau berlian. Apatah lagi kalau dengan nyawa sekalipun.Hargailah ibu anda selagi dia masih ada. SELAMAT HARI IBU..